Rukka dikenal karena pidatonya yang berapi-api dan dedikasinya pada gerakan untuk hak masyarakat adat. Pada tahun 1993, orangtua Rukka mengadakan pertemuan yang sering disebut sebagai permulaan gerakan masyarakat adat di Indonesia. Sebelum bergabung dengan AMAN di 1999, Rukka bekerja untuk JAPHAMA (Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat), jaringan yang membela masyarakat adat dan salah satu kelompok yang berperan penting dalam penyelenggaraan kongres masyarakat adat pertama di Indonesia pada Maret 1999.
Rukka bergabung dengan program masyarakat adat regional UNDP di UNDP Asia Pacific Regional Centre di Bangkok, Thailand, sebagai Spesialis Program di 2007 dan kembali ke AMAN di awal 2011 sebagai Project Manager. Pada akhir tahun yang sama, ia ditunjuk sebagai Ketua dari panitia Kongres Masyarakat Adat Keempat di Halmahera, Maluku Utara, yang mengumpulkan lebih dari 1.000 wakil masyarakat adat dari seluruh Indonesia. Dari 2009 sampai 2012, Rukka adalah anggota Dewan Eksekutif Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP) atau Pakta Masyarakat Adat Asia yang mewakili Malaysia, Filipina, Indonesia, dan Timor Leste. Ia menulis bab tentang Indonesia di Indigeneous World, laporan tahunan global tentang masyarakat adat oleh International Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA), kelompok pendukung hak masyarakat adat yang berlokasi di Copenhagen, Denmark.
Rasanya tidak ada orang yang merefleksikan, mendiskusikan, dan memperjuangkan hak masyarakat adat di Indonesia lebih dari Rukka Sombollingi. Aktivisme untuk masyarakat adat memang jadi kerja seumur hidupnya. Advokasi untuk masyarakat adat ada di darahnya; orang tua Rukka mengadakan rapat yang melahirkan AMAN, di mana saudaranya kini berperan sebagai wakil masyarakat Toraja. Selama berdiskusi, kami turut merasakan semangat, pemahaman, dan keterikatannya yang dalam untuk misi ini. Keahlian Rukka jelas terlihat dari keterbukaan dan kesediaannya berbagi. Untung bagi kami, Rukka juga seorang Toraja.
Konsep masyarakat adat tampak jelas dan lugas di Australia. Tapi, di Indonesia ada pergulatan dalam upaya mendefinisikan dan pemberian pengakuan, apa lagi soal hak atas tanah. Di wawancara ini, Rukka menjelaskan konsep masyarakat adat di Indonesia secara komprehensif. Ia juga memaparkan masa lalu, kini, dan depan dari upaya pemenuhan hak masyarakat adat di Indonesia. Sejak sebelum kolonialisme Eropa, memasuki kemerdekaan, era orde baru, hingga pandemi COVID-19, komunitas adat dari berbagai area di nusantara telah bertahan secara mandiri, terlepas dari kekuasaan terpusat atau intervensi eksternal.
Ia juga diskusikan dengan kami tujuan dan metode-metode yang diambil AMAN, dari memfasilitasi klaim tanah adat, hingga pelatihan media dan upaya menjangkau generasi muda. AMAN bertujuan untuk sediakan sarana untuk pemberdayaan dan pengembalian martabat kepada masyarakat adat, budaya, dan adat istiadat--bukan untuk mindiktekan atau memaksakan struktur dan ideologi tertentu.
Dari menghabiskan waktu dengan Rukka, kami merasa bahwa mendiskusikan sejarah AMAN ternyata juga berarti mendiksusikan aspek-aspek penting budaya dan politik Toraja. Dengan pemahaman akan konteks sosial, sejarah, dan politik yang lebih baik dari Toraja, area yang sedang kami bahas, kami berharap bisa artikulasikan ide kami dan representasikan teman-teman di Toraja dengan lebih baik.
Rukka: Hai, nama saya Rukka Sombollingi. Saya orang Toraja--lahir dan besar di Toraja. Saya pergi meninggalkan tanah kelahiran saya untuk belajar di universitas waktu berumur 17 tahun, dan belum tinggal di sana lagi untuk waktu yang cukup lama. Saya sakarang 47, hampir 48 tahun. Saya habiskan lebih dari setengah hidup saya di luar tanah kelahiran saya.
Sam: Sekarang anda tinggal di mana?
Rukka: Sekarang saya tinggal di Bogor, dekat Jakarta.
Sam: Bisa ceritakan ke kami tentang Masyarakat Adat dan AMAN, serta tentang anda dan hubungan anda dengan Toraja?
Rukka: Di Toraja kami punya 32 komunitas. Kami sebut mereka Lembang. Sangalla [tempat datangnya DSTV] adalah salah satunya. Sangalla adalah komunitas saya, komunitas bapak saya. Tubuh bapak saya, yang kami kubur beberapa tahun lalu, diistirahatkan di Sangalla. Anda mungkin pernah berkunjung ke makam beliau; Tempatnya disebut Suaya, kompleks kuburan batu terbesar di Sangalla, jauh di atas pegunungan.
Sam: Sepertinya pernah, kami cukup lama di Sangalla, khususnya di Tumbang Datu dan Salu Allo.
Rukka: Rumah kakek saya sekarang jadi museum di Buntu Kalando. Kalau anda datang ke Sangalla dari Makale, mengikuti jalan tradisional, anda akan lewati museumnya dan kompleks pemakaman Suaya, yang disebut “Makam para Raja.” Di situlah tempat nenek moyang saya diistirahatkan. Saya sudah cukup lama tahu DSTV, pekerjaan mereka hebat sekali. Mereka terkenal karena mendokumentasikan adu kerbau! Bagus sekali kita punya arsip untuk hal-hal seperti ini. Mereka sangat terkenal. Sepertinya mereka tidak terlalu kenal saya, tapi sepertinya mereka dekat dengan saudara laki-laki saya.
Misi kami di AMAN adalah untuk mengembalikan kedaulatan, kemapanan ekonomi dan kesejahteraan, serta harga diri masyarakat adat di seluruh nusantara.
Sam: Lain kali kami mengobrol, saya akan tanyakan mereka tentang anda. Karena wawancara ini direkam, silahkan jawab dengan bahasa yang paling nyaman, yang paling cocok untuk anda.
Rukka: Saya rasa busa pakai bahasa apa saja yang paling nyaman untuk anda, karena bahasa Indonesia adalah bahasa kedua saya, sama seperti Inggris. Bahasa asli saya adalah bahasa Toraja, yang mungkin lebih sulit anda pahami, nanti kita malah lebih sulit berkomunikasi di wawancara ini! Mungkin anda lebih nyaman berbicara dengan bahasa Inggris? Bagi saya bahasa Indonesia atau Inggris sama saja. Jadi boleh yang mana saja!
Saya tahu bahasa Toraja, khususnya bahasa toraja tingkat tinggi yang biasa digunakan untuk ritual cukup sulit untuk diterjemahkan. Bahkan kami, orang Toraja, kesulitan menerjemahkan meski tahu artinya. Ada banyak istilah yang tidak bisa diterjemahkan; ke bahasa Indonesia maupun bahasa lainnya. Bahasa adalah refleksi cara hidup, pandangan, nilai-nilai; Bahasa adalah bagian dari budaya. Sama halnya dengan bagaimana ada istilah di bahasa Inggris dan Indonesia yang tidak ada di bahasa Toraja, kadang kita harus terjemahkan sebuah kalimat menggunakan sebuah paragraf- begitulah bahasa.
Sam: Apa arti adat untuk anda dan Indonesia?
Rukka: Ini topik yang cukup fundamental, karena merefleksikan sejarah Indonesia--sejarah penjajahan masyarakat adat di Indonesia. Ada sebuah perdebatan di antara kami dan pemerintah Indonesia tentang definisi ini. Karena kalau sebuah kelompok adalah masyarakat adat, maka ada tanggung jawab dan kewajiban yang perlu dipenuhi oleh Negara. Dari sisi negara, mereka akan selalu klaim tidak ada masyarakat adat di Indonesia, atau kita semua adalah masyarakat asli, jadi hak internasional untuk masyarakat adat tidak berlaku untuk siapapun. Tujuannya adalah agar mereka tidak perlu memenuhi kewajiban-kewajiban negara yang menurut norma dan standar internasional adalah hak masyarakat adat.
Sejarah penjajahan punya dampak pada definisi ini. Blue Water thesis (tesis Air Biru) sering muncul dalam studi-studi tentang masyarakat adat. Menurut tesis ini, masyarakat adat atau masyarakat asli adalah mereka yang telah dijajah oleh Eropa--definisi ini tidak mencakup banyak masyarakat adat di Asia dan Afrika, yang belum pernah diserang atau dijajah oleh Eropa. Jadi ada cara mengidentifikasi diri yang sangat jelas untuk masyarakat adat di Amerika Selatan; Kanada, Amerika Serikat, dan Meksiko, serta Amerika Latin. Ada cara mengidentifikasi yang jelas melalui sejarahnya.
Waktu kita kembali melihat sejarah para pejajah, kita juga bisa temukan istilah “Doctrine of Discovery (Doktrin Penemu)”. Konsep ini datang dari “Papal Bull (Bulla Kepausan)”, keputusan dari Paus yang memberi penjelajah Portugis dan Spanyol di abad ke-15, kalau tidak salah di tahun 1493, hak untuk membagi dunia ke dua kelompok dan menaklukan tanah “kosong” yang belum diakui Portugal atau Spanyol. Sebelumnya, mereka mengadu ke Paus. Tampaknya penjelajah Portugis bermain kotor, menyerang tanah yang sudah ditaklukan Spanyol. Begitulah latar belakang kenapa Paus membagi dunia menjadi dua. Ini juga alasan mengapa Afrika tadinya dibagi dua dan mengapa Amerika tadinya dianggap milik Spanyol. Mereka juga menganggap orang-orang yang tinggal di tanah-tanah ini sebagai “sub-human” (tidak sepenuhnya manusia), sehingga tidak punya hak atas tanah yang mereka tinggali. Beginilah dasar sejarah penjajahan oleh Eropa pada tanah masyarakat asli. Setelah itu, ada lagi penjajahan oleh Perancis, Inggris, Belanda, tapi ini masuk ke gelombang kedua kolonialisme dan imperialime dunia. Saudara-saudara kami di Amerika Utara sudah berhasil mengambil alih sebagian dari narasi sejarah, contohnya lewat bagaimana yang tadinya dirayakan sebagai Hari Columbus kini dirayakan sebagai Hari Masyarakat Adat
Dalam kasus Indonesia, penjajahan masyarakat asli di Indonesia dilakukan bukan oleh penjelajah dari Eropa, tapi oleh saudagar-saudagar yang kita sebut Pedagang Gujarat. Karena mereka mengontrol sumber daya yang ada, beberapa kepala suku--para elit lokal--mendirikan kerajaan-kerajaan dan kesultanan yang menyusul belakangan. Penjelajah dari Eropa baru datang setelahnya. Jadi Doctrine of Discovery yang tiba di Nusantara--yang kini kita sebut Negara Kebangsaan Indonesia--adalah doktrin gelombang kedua. Yang dimaksud di sini adalah doktrin yang dibawa Belanda, Spanyol, Inggris, dan Portugis--walaupun Spanyol dan Portugis memiliki peran yang semakin kecil, kalau dilihat dari area yang mereka kontrol. Belandalah yang datang ke sini dan membawa paham mereka sendiri; ‘Domein Verklaring’, semua tanah tanpa nama adalah milik pemerintahan Belanda.
Dalam sejarah modern negara kebangsaan Indonesia, ‘Doctrine of Discovery’ dan ‘Domein Verklaring’ diterjemahkan menjadi “Hak menguasai negara”, hak negara untuk menguasai suatu area. Jadi masyarakat adat yang ada di Indonesia hari ini adalah penyintas dari kuasa para pedagang Muslim dari Gujarat di India, para kerajaan dan kesultanan, para penjelajah dari Belanda, dan kini masih bertahan dalam negara kebangsaan Indonesia yang modern.
Klaim dari masyarakat adat di Indonesia adalah bahwa “kami hidup di sini sebagai orang-orang yang pertama yang menghuni tanah ini,” berdasarkan sejarah kami. Ini unik, khusus ada di Indonesia; klaim kami berdasarkan tanah yang kami urus sejak zaman dahulu kala. Begitulah cara kami mengidentifikasi diri di Indonesia. Identitas dan klaim masyarakat adat di dunia merefleksikan sejarah mereka masing-masing; di Amerika Latin, Asia, India, Bangladesh, Thailand, dan sekitar Mekong. Semuanya tergantung pada “orang luar” atau kekuatan eksternal apa yang pernah kami temui. Di Indonesia, klaim kami datang dari daerah kami, seperti Toraja. Saya merupakan penduduk asli tanah saya, Toraja. Saya bukan penduduk asli di tempat yang saya tinggali sekarang.
Kami berjuang untuk hak kolektif masyarakat adat. Sebagai individu, tentu kami perlu punya hak sebagai warga negara Indonesia, tapi yang belum terpenuhi di sini adalah pengakuan dan perlindungan atas hak kolektif kami sebagai masyarakat adat. Hak kolektif masyarakat adat sebetulnya diakui oleh konstitusi. Para bapak bangsa Indonesia mengakui adanya bangsa-bangsa yang sudah tercipta sejak sebelum Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai Negara modern. Kami sebut Indonesia sebagai negara kebangsaan, karena sesungguhnya Indonesia dibentuk dari ratusan, mungkin ribuan bangsa. Di sinilah letak perjuangannya sekarang; dinamika antara hak kolektif masyarakat adat dan hak negara kebangsaan
Bagaimana cara kita mengidentifikasi diri? Ya, sebagai contoh, ada perjuangan kami dulu di abad keenam belas; gerakan besar yang kami sebut To Pada Tindo, artinya “orang dengan satu mimpi”--dengan satu visi bersama. “Tindo” berarti mimpi, “To” berarti orang. Pertempuran ini terjadi sebelum Belanda tiba di Toraja, melawaan kerajaan Bone. Afifah aslinya dari mana?
Afifah: Saya separuh Bone.
Rukka: Ya, ini lah sejarah anda dan saya-- sejarah kita. Jadi Bone menyerang Toraja, mereka berusaha menaklukan Toraja. Tapi ketua-ketua kami melawan dan akhirnya berhasil mengusir tentara Bone. Pertama-tama, ada traktat di antara Toraja dan Bone, sebuah perjanjian damai. Zaman dulu kita sebut perjanjian damai “Dipato’doi rara”, yang berarti “diikat darah”. Darah manusia, anjing, dan ayam jago-digunakan tiga jenis darah. Itulah perjnjian sakral antara Toraja, To Pada Tindo, dan Kerajaan Bone. Setelah bertahun-tahun perang, keadaan benar-benar kacau, hanya ada segelintir ketua tersisa dan banyak orang Toraja meninggal. Karena itu, mereka harus merombak masyarakat ke dalam yang dikenal sebagai “Manglili”. Artinya, anda mengidentifikasi diri dan wilayah yang anda miliki sebagai sebuah komunitas.
Contohnya, komunitas saya, Madandan, adalah komunitas dari nenek saya dari sisi bapak. Bapak saya datang dari Lembang Sangalla dan sekitarnya, dan Madandan adalah tempat asal nenek saya. Contohnya, Madandan disebut “Panglili na Karasiak” karena ketuanya, salah satu ketua dari 117 ketua To Pada Tindo, adalah orang yang menandai dan mengklaim wilayah tersebut sebagai miliknya, Madandan. Panglili Na Karasiak artinya Madandan adalah wilayah yang ditandai Karasiak. Pada titik kami kurang-lebih sudah terbentuk sebagai sebuah bangsa; satu Toraja dengan 32 komunitas.
Sebelumnya kami tidak menggunakan nama Toraja. Ini adalah sebutan yang digunakan orang luar, bukan pilihan kami. Tadinya, kami mengidentifikasi diri hanya sebagai bagian dari komunitas masing-masing. Contohnya, saya akan memperkenalkan diri sebagai Rukka To Madandan, atau Rukka To Sangalla. Dari sejarahnya, kami percaya orang Toraja datang dari langit menggunakan perahu--karena itu rumah kami berbentuk kapal. Di Toraja, kapal disebut Lembang. Jadi konsep komunitas di Toraja agak berbeda dengan yang digunakan masyarakat Indonesia. Ketika saya bertemu dengan orang Toraja di luar Toraja, pertama-tama saya akan diminta namanya, lalu mereka akan bertanya, “To Lembang Apa komi?” yang artinya kamu dari mana? Dari komunitas apa? Maka saya akan jawab, “nama saya Rukka, dan saya datang dari Lembang Madandan, atau Sangalla, atau Kesu” dan selanjutnya, karena keluarga saya datang dari 10 komunitas yang berbeda; saya anak campuran. Kalau diterjemahkan langsung, pertanyaan tadi berarti “kamu dari kapal yang mana?” karena Lembang berarti kapal, tapi istilah ini juga kami gunakan untuk membicarakan komunitas.
Sejarah asli kami sudah ada jelas bahkan sebelum Belanda masuk. Saat Belanda sampai ke Toraja, mereka berusaha mengidentifikasi kelompok-kelompok. Karena untuk mengontrol, mereka perlu mengelompokan komunitas yang ada. Dari situlah terkumpul tiga puluh dua komunitas di bawah masyarakat Toraja. Pengelompokan ini masih kami gunakan sekarang, karena terikat dengan perjanjian sakral di masa lalu. Siapa yang mau melawan sistem ini, harus menghadapi ketiga roh keramat yang mengunci perjanjian tersebut. Roh-roh ini sangat sakral. Karena itu, tidak ada yang berani melawan. Kami masih dalam proses berdiskusi apa yang perlu kami lakukan dengan 32 komunitas-atau lebih-ini, karena ada yang bilang sebetulnya ada lebih dari 32 kelompok. Tapi begitulah, sejarah Toraja betul-betul berbeda dengan masyarakat adat lain di Sulawesi--apa lagi di Indonesia.
Sejarah Sulawesi, pulau saya--pulau kita, Afifah--sangat beragam dan berbeda satu komunitas dengan komunitas lainnya. Melihat realitas masyarakat adat di Indonesia seperti mengupas bawang bombay. Ada banyak lapisan yang perlu kita lalui sebelum tiba di intinya. Saat kita mulai membandingkan komunitas-komunitas yang ada, ini jadi lebih rumit lagi. Contohnya, ada Berambang Katute yang kalah dalam perang melawan kekuatan dari luar. Tapi ada juga Toraja yang punya sejarah berhasil mengusir tentara Bone. Jadi ada sejarah yang kalah dan yang menang. Meski begitu, kalah tidak berarti mereka kehilangan tanahnya atau kehilangan hak atas tempat tinggal mereka. Karena itu, konsep asli di Indonesia begitu kompleks. Nusantara ini adalah tempat bercampurnya begitu banyak budaya dan terjadinya beragam bentuk imperialisme. Mungkin kami cukup beruntung di Toraja karena tinggal jauh di pegunungan--jauh dari tempat perdagangan, di mana dulu orang berperang memperebutkan kuasa. Kalau Toraja terletak di Makassar, sejarah dan situasi kami akan sangat berbeda.
Menurut Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) ada tiga ratus tujuhpuluh juta masyarakat adat di seluruh dunia. Tapi, karena perbedaan sejarah dan situasi politik, tidak ada definisi standar yang digunakan di level internasional. Ini adalah bagian dari perjanjian di tahun 2007. Saat Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, disetujui bahwa tidak ada definisi standar untuk masyarakat adat. Kenapa? Karena tidak ada satu definisi yang bisa merangkum pengalaman masyarakat yang begitu berbeda dengan adil. Definisi mengkotak-kotakkan subjek bahasannya, dan mengabaikan mereka yang tidak bisa masuk ke kotak-kotak yang sudah dibuat tadi. Padahal, mungkin merekalah yang paling membutuhkan perlindungan. Karena itu, tidak ada definisi yang digunakan untuk masyarakat adat di level internasional. Akan tetapi, dalam persetujuan ini ada suatu hal yang kami sebut karakteristik umum, [00:42:00] dan inilah yang kami gunakan di Indonesia.
Konstitusi Indonesia hanya menyebutkan pengakuan untuk masyarakat adat. Ada dua istilah yang mereka gunakan di sini; “Masyarakat Adat” dan “Masyarakat Tradisional”. Yang kami gunakan sekarang adalah interpretasi terbaru dari Konstitusi oleh mahkamah konstitusi. Pada 2013, mereka mengeluarkan apa yang disebut empat karakteristik masyarakat hukum adat. Ada wilayah, sejarah yang dimiliki bersama, pengetahuan dan keahlian yang dimiliki bersama, dan hukum adat yang berlaku dalam institusi masyarakat adat. Ketiga karakteristik inti inilah yang digunakan untuk mengidentifikasi masyarakat adat di Indonesia. Sekarang pertanyaannya adalah, “ bagaimana kita bisa dokumentasikan ini?”
Di sini, peran teknologi jadi semakin penting, karena kami menggunakan teknologi untuk menuntut hak-hak kami. Baru-baru ini, kami memulai proses yang disebut pemetaan partisipatif wilayah adat. Saat melakukan pemetaan, kami tidak hanya mencatat batasan-batasan wilayah sebuah komunitas, tapi juga informasi sosialnya; sejarah, dokumentasi institusi, hukum adat, sistem pengetahuan khas, dan inovasi-inovasi komunitas yang ada. Kami berfokus khususnya pada sejarah, karena sejarah sangat penting dan bisa memvalidasi sebuah klaim. Sekarang, kami sudah memetakan lebih dari sepuluh juta hektar. Peta Wilayah Adat kami sudah diterima oleh pemerintah Indonesia, dan kami juga telah menerima sebagian hutan adat yang dikembalikan pemerintah. Meski masih cukup kecil--sekitar enam puluh ribu hektar--ini tetap merupakan pencapaian historis untuk masyarakat adat di Indonesia, karena hak kami tidak pernah diberikan begitu saja. Sejak dulu, kami harus berjuang untuk dapatkan hak-hak ini dan pemerintah tidak akan akan mengalah begitu saja. Begitulah situasi perjuangannya sekarang, sangat panjang dan kompleks.
Sam: Bolehk bahas sedikit lebih banyak tentang pemetaan sejarah khususnya soal tanah dan wilayah ini? Dokumentasi apa yang digunakan sebagai dasar pemetaannya? Apakah dilakukan berdasarkan peta yang sudah ada? atau misalnya, dari kisah-kisah dan sejarah lisan?
Rukka:Pertama-tama, pemetaan ini dilakukan oleh komunitasnya sendiri, karena mereka adalah orang yang memahami batasan-batasan dan sejarah kelompok mereka masing-masing. Khususnya saat kita membicarakan hak atas tanah, alokasi, dan lainnya, ini lumayan sensitif. Karena itu, ini jadi penting; peta tersebut harus digambar oleh masyarakat adat yang bersangkutan.
Peran AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) adalah sebagai fasilitator dan penyelenggara peta. Kami hanya membawa keahlian teknologi dan aspek teknis pemetaan lainnya. Pemerintah sering menolak peta masyarakat adat dengan alasan “peta tidak bisa diterima, tidak sesuai standar kami.” Karena itu, kami selalu memperbaharui standar dan peralatan yang kami gunakan. Misalnya mereka minta,, “kalian harus gunakan GPS jenis ini” lalu kami akan jawab, “baik, bisa kami lakukan.” Mereka selalu menambahkan syarat-syarat baru yang selalu kami penuhi; Peran kami di AMAN adalah untuk memastikan masyarakat adat mampu memenuhi persyaratan teknis pemerintah. Kami melatih dan menyediakan ribuan fasilitator pemetaan. Mereka paham soal pemetaan, mereka tahu cara gunakan GP, dan mereka mengerti proses digitalisasi. Hal-hal seperti ini memerlukan serangkai keahlian khusus. Inilah yang kita tawarkan.
Kami juga melatih para pemuda-pemudi di komunitas untuk melakukan pemetaan khusus. Merekalah yang akan melakukan perjalanan fisik. Kita tidak bisa mengharapkan para tetua untuk melakukan perjalanan yang jauh dan sulit. Generasi muda dari komunitas-komunitas inilah yang akan melakukan perjalanan ke perbatasan, mendapatkan koordinat-koordinatnya, dan mencatat mereka.
Lain dengan sejarah, yang merupakan keahlian para tetua. Merekalah para penjaga sejarah, para penjaga rahasia. Merekalah yang akan menceritakan sejarah komunitas, sejarah dan pengetahuan yang perlu disampaikan. Yang penting bagi kami adalah bahwa keempat karakteristik masyarakat adat tadi bisa dipenuhi. Meski begitu, kita tidak pernah menggali terlalu dalam tentang sejarah dan pengetahuan karena kami mendukung perlindungan sejarah dan pengetahuan masyarakat adat. Cukup dengan menjelaskan urutan sejarah-sejarah dan hukum adat dasar, pengetahuan dasar, dan struktur dasar tenurial tata ruang kami saja.
Begitulah cara kami memetakan wilayah adat. Peran mengkonfirmasi sejarah selalu jatuh pada para tetua, perjalanan untuk menandai batas-batas wilayah dan mendapatkan koordinatnya dilakukan oleh generasi muda, lalu kami masukkan informasi ini ke komputer yang jadi bank data untuk lalu dipresentasikan pada acara pertemuan komunitas yang kami sebut “Kombongan”. Proyek pemetaan ini bukan hanya soal memproduksi peta, tapi juga soal membangun dialog, penyaluran pengetahuan, pembagian kewajiban antara para tetua dan generasi muda, serta anggota komunitas lainnya. Begitulah.
“Jika negara tidak mengakui kami, maka kamipun tidak akan mengakui negara.” Rasa frustrasi akan penindasan yang dirasakan masyarakat adat dari Indonesia tercerminkan dalam slogan ini.
Sam: Boleh bahas lebih banyak tentang Kombongan? Apakah ini suatu hal yang datang dari Toraja, atau biasa dipraktikkan di seluruh Indonesia?
Rukka: Kombongan adalah istilah Toraja. Artinya orang berkumpul dan membuat keputusan. Ini adalah proses pembuatan keputusan. Kami bisa memutuskan untuk buat berbagai perubahan, asal kami lakukan bersama sebagai sebuah komunitas. Seperti apa yang hukum internasional bahas saat sebutkan hak untuk menentukan nasib sendiri, masyarakat adat praktikkan dalam menentukan hidup kami.
Sam: Jadi ini kata yang datang dari Toraja dan digunakan secara general?
Rukka: Ini istilah dari Toraja tentang konsep milik Toraja. Ada berbagai istilah untuk proses membuat keputusan di berbagai bahasa, Kombongan adalah istilah yang digunakan di Toraja-sebuah contoh proses pembuatan keputusan. Kombongan bisa terjadi di berbagai level berbeda--di level keluarga atau suku, level desa, atau level regional. Kalua’ berarti luas, jadi Kombongan Kalua’ adalah proses pembuatan keputusan yang diikuti oleh ketiga puluh dua komunitas yang ada di Toraja. [00:56:14] Prinsip Kombongan datang dari pemahaman bahwa kita bisa pecahkan batu terkeras sekalipun, bila dilakukan bersama--apa bila keputusan diambil bersama.
Sam: Mungkin boleh ceritakan lebih lanjut tentang kerja AMAN di Toraja? Bagaimana dinamika antara organisasi AMAN dan institusi-institusi di Toraja?
Rukka: Anggota AMAN adalah komunitas, bukan individu. Jadi anggota AMAN adalah Toraja-ketiga puluh dua komunitas dengan institusi adat mereka masing-masing. Mereka membuat keputusan untuk masuk ke AMAN melalui Kombongan. Lalu mereka tentukan siapa yang akan jadi bukan representatif, tapi titik kontak dengan AMAN. AMAN bukan organisasi payung, tapi organisasi nasional dengan badan pemerintahan nasional, di mana saya berperan sebagai sekretaris jenderal.
Kami punya cabang regional pada level provinsi. Contohnya, di Sulawesi Selatan ada dua cabang regional; AMAN Sulawesi Selatan dan AMAN Tana Lulu. Wilayah adat dan wilayah adat budaya bukan berdasarkan administrasi nasional. Kami punya dua puluh satu cabang regional dan 114 cabang lokal. Cabang lokal bisa ada di level kabupaten atau lebih tinggi. Meski Toraja terbelah jadi dua kabupaten [Tana Toraja dan Toraja Utara], hanya ada satu AMAN Toraya yang mengumpulkan ke-32 komunitas, karena komunitas adat di Toraja terbagi dua karena pembelahan ini.
Kalau Toraja dipecah dengan cabang lokal, kami akan butuh paling tidak tiga cabang. Di utara; Tondok di Indoi di mana pemimpin dipanggil Indo atau Ambe (Ibu atau Bapak), di selatan; Tondok di Puangngi di mana ada Sangalla, Menkendek dan Makale, lalu di barat ada Tana di Ma’dikai karena para pemimpin, para ketua di sana dipanggil Madika.
Sistem Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) tidak seperti ini; 32 komunitas yang ada memiliki representatifnya masing-masing. Ketua cabang Toraja adalah saudara perempuan saya, mungkin ia akan lebih paham soal AMAN Toraya. Kami juga punya apa yang disebut dewan lokal, di mana para representatif dari komunitas bertemu. Peran AMAN adalah untuk memberdayakan institusi masyarakat adat. Kami berusaha untuk memulihkan apa yang kami sebut otoritas asli; otoritas adat yang dibelah dan dihilangkan oleh Indonesia.
Di sini ada bagian dari sejarah Indonesia yang perlu kita akui; bahwa sebagai negara, Indonesia telah mengadopsi cara-cara para penjajah. Kami selalu katakan bahwa kami telah mengusir penjajah saat Belanda dan Jepang dikalahkan, tapi praktik-praktik dan mentalitas penjajah tetap tertinggal di Indonesia; seakan Indonesia telah menyalin cara-cara sang penindas. Karena inilah masyarakat adat berdiri dan menyatakan, “tidak. Ini hak kami.” Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan, tidak ada proses untuk mengidentifikasi, menyadari, dan mengakui siapa pemilik setiap lahan yang ada di Indonesia-termasuk lahan masyarakat adat. Seluruh wilayah Indonesia dianggap tanah kosong yang secara otomatis jadi hak milik negara. Padahal, pada era Belanda saja ada lebih banyak hak masyarakat adat atas tanah yang diakui. Beda dengan sekarang. Dalam hal ini, Indonesia lebih parah dari Belanda karena sampai sekarang mereka masih bersitegas, “tidak, ini semua milik negara.” ‘Domein Verklaring’ adalah doktrin penemuan dari era Belanda yang masih dianut di Indonesia dengan sebutan ‘hak menguasai negara’. Ini cara mereka katakan, “mana bisa kalian punya hak kolektif atas tanah ini? Ini semua milik negara.” Tidak ada pengakuan atas pemilik asli tanah tersebut, terutama untuk tanah-tanah yang sempat digunakan oleh perusahaan Belanda di masa lalu. Ini yang terjadi di bagian timur Sumatra. Pada era Belanda, daerah tersebut digunakan sebagai perkebunan tembakau oleh belanda yang menyewa tanah tersebut dari masyarakat adat. Tapi, setelah Indonesia mereka, mereka melakukan yang disebut ‘nasionalisasi’; pengambil-alihan perusahaan-perusahaan Belanda untuk jadi perusahaan milik negara tanpa mengakui adanya pemilik asli tanah; masyarakat adat yang tinggal di sana.
Sekarang ada begitu banyak masalah muncul karena proses tersebut. Dulu, pada 1979 Indonesia pertama mengadopsi Undang-Undang desa untuk semua perdesaan, hal ini seketika menghilangkan otoritas, institusi, dan hukum adat. Maka dari itu, AMAN memiliki misi untuk memberdayakan institusi adat. Kami berjuang untuk pengakuan dan otorisasi otoritas adat, termasuk hukum adat. Kami juga ingin memastikan budaya-budaya dan praktiknya yang melanggar hak asasi manusia diubah. Kami tidak bisa menuntut hak sebagai individu maupun kolektif apabila salah satu dari kami tidak menikmati hak yang sama, misalnya para pempuan, individu dengan disabilitas, atau generasi muda.
Dari dulu, kami mendukung reformasi internal di tradisi dan praktik adat. Meski sulit--sesulit-sulitnya perjuangan kami dengan negara di luar, kami juga harus berjuang di dalam komunitas--tapi ini tetap harus diperjuangkan. Ini harus kami lakukan, khususnya untuk para perempuan. Jelas, di seluruh Indonesia atau dimanapun itu, dunia tidak adil untuk perempuan. Hal yang sama juga terjadi di tradisi dan budaya adat di berbagai tempat. Kembali ke pertanyaan anda tadi, kami tidak bergerak melawan institusi adat; kami berusaha memberdayakan, memperkuat mereka. Karena itu, saat melakukan pemetaan masyarakat, ini bukan soal administrasi desa saja, tapi soal masing-masing komunitas. Misalnya ada satu komunitas modern, ya sudah mereka dilihat sebagai satu komunitas modern. Contohnya, Madandan adalah satu komunitas, tapi terbelah menjadi dua distrik--Toraja Utara dan Tana Toraja--dan empat desa. Kami tidak melihat mereka sebagai sekelompok desa, melainkan hanya satu komunitas.
Sam: Apa saja objektif AMAN Toraya?
Rukka: Misi kami di AMAN adalah untuk mengembalikan kedaulatan, kemapanan ekonomi dan kesejahteraan, serta harga diri masyarakat adat di seluruh nusantara. Masing-masing cabang lokal memiliki prioritas mereka sendiri, tergantung situasi yang mereka hadapi. Contohnya, di Toraja fokus utamanya adalah pengakuan peta dan wilayah adat. Mereka lumayan berhasil dalam mendapatkan pengakuan dari peraturan-peraturan lokal yang diberikan dewan parlemen daerah di Toraja Utara.
Di 2004 lalu, mereka berhasil mendapat pengakuan dari Bupati Tana Toraja. Beliau mengeluarkan ketetapan yang mengakui adanya 32 komunitas adat di Toraja. Tapi, kemudian ada lagi masalah dari pemerintah; mereka memecah Toraja menjadi dua kabupaten. Kami tidak lagi bisa gunakan ketetapan bupati tadi, karena sekarang kami terdiri dari dua kabupaten. Karena itu, kami harus memulai perjuangan untuk dapatkan pengakuan dari tingkatan lokal ini dari awal lagi. Pengakuan ini baru didapat tahun lalu, pemetaan 12 komunitas di Toraja Utara pun baru saja diakui secara resmi. Hal-hal seperti itulah fokus mereka.
Masalah yang kini sedang mereka hadapi berkaitan dengan hutan adat di sekitar Toraja. Mereka sudah memfinalisasi dokumen-dokumen yang harus diajukan ke menteri lingkungan hidup dan kehutanan untuk mengembalikan hutan adat di Toraja Utara. Dokumennya sudah lengkap. Tapi inilah masalah yang sedang kita hadapi di seluruh Indonesia sekarang.
Karena kita juga sedang menghadapi COVID-19, objektif kita sekarang adalah untuk pastikan adanya kedaulatan pangan; memastikan kita punya persediaan makanan yang cukup. Kami sadar ekonomi global sedang runtuh, pasar sedang runtuh. Jadi kami harus hidupkan kembali ekonomi lokal kami. Di Toraja, generasi muda bertani, membuat pembibitan ayam--semacam peternakan ayam. [01:14:22] mereka melakukan macam-macam usaha. Mereka memanen; anak muda dan para perempuan kini sangat aktif.
Mereka baru mendirikan cabang lokal khusus pemuda adat di AMAN Toraya di masa pandemi ini. AMAN punya tiga cabang organisasi; perempuan adat, pemuda adat, dan cabang legal. Sistem ini sangat efektif karena merekalah yang aktif bekerja. Kami berusaha memastikan apabila krisis dari COVID-19 ini berkepanjangan pun, masyarakat adat paling tidak bisa bertahan. Kini mereka juga mengangkat sebuah fokus baru; sekolah adat.
AMAN berarti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Kami tidak gunakan Indonesia di sini untuk mengakui bahwa kami ada di sini sebelum Indonesia, dan kami akan tetap ada di sini apabila Indonesia runtuh sekalipun.
Sam: Kami punya banyak masalah dalam sejarah penjajahan kami di Australia, dan definisi adat tampaknya lumayan berbeda di sini dengan di Indonesia. Boleh bahas hubungan AMAN dengan budaya dan organisasi adat lain di dunia?
Rukka: Itulah asiknya UN; kami jadi punya platform untuk berkumpul. Sejarah dan fondasi AMAN sebetulnya adalah hasil kerja masyarakat adat dari seluruh dunia. Ini ada cerita lain lagi, waktu para pemimpin adat mulai berjuang untuk hak mereka di era Suharto, membicarakan hak asasi manusia masih terbilang sulit. Satu-satunya platform untuk aktivisme pada zaman itu adalah melalui isu lingkungan. Jadi para pemimpin di tahun 70, 80, dan 90-an menggunakan jaringan Friends of the Earth International. Di Indonesia, mereka melawan rezim Suharto dengan mengangkat perspektif masyarakat adat sebagai korban deforestasi--korban perusahaan penebangan. Kami adalah korban perusahaan tambang dan polusi yang mereka lepas ke sungai kami. Ketika ditanya, “kenapa kamu melindungi ini? Kenapa kamu melindungi hutan ini? Kenapa kamu menolak pertambangan?” Mereka akan jawab, “ini adalah warisan nenek moyang kami, hak kolektif kami. Karena itu kami berkumpul untuk perjuangkan ini.”
Pada 1993, PBB mengumumkan adanya Tahun Internasional Masyarakat Adat Sedunia, kemudian Dekade Internasional Masyarakat Adat Sedunia. Jaringan global yang muncul dari sini membantu komunitas-komunitas dan aktivis di Indonesia sadar, “Inilah kita. Perjuangan ini tidak hanya tentang isu lingkungan, tapi juga tentang orang-orang dengan kesamaan; ini kita.” Dari sini, mereka berkumpul kembali dan memutuskan perlunya penyempurnaan aktivisme. Jadi berbagai pemimpin berkumpul pada tahun 1993, di rumah orang tua saya di Toraja. Di Madandan, mereka bertemu dan mendefinisikan ulang diri, misi, dan visi mereka untuk masyarakat adat di seluruh nusantara.
Di momen inilah mereka memutuskan untuk menerjemahkan istilah bahasa Inggris Indigenous peoples jadi “masyarakat adat”. Lalu, mereka membangun jaringan dan mengorganisir diri, memberdayakan diri dalam komunitas--secara diam-diam, karena ini masih era Suharto--tapi mereka belajar cara berorganisasi dari orang-orang lain. Mereka belajar dari Aliansi Masyarakat Cordillera dari Filipina. Mereka belajar dari kelompok-kelompok di Alice Springs. Mereka juga belajar dari kelompok-kelompok di Mexico, Brazil, Panama, dan masyarakat Sámi dari Norwegia. Kami belajar dari banyak sumber berbeda. Dari sinilah kami mulai berhubungan dengan mereka.
Waktu Suharto lengser di 1998 karena pergerakan mahasiswa, masyarakat adat mendapat momentum. Komunitas-komunitas ini memutuskan untuk gunakan momentum tersebut untuk muncul. Mereka mengadakan Kongress Masyarakat Adat Nusantara pertama. AMAN didirikan pada Maret 1999. Kongres ini dihadiri pemimpin masyarakat adat dari seluruh Indonesia, dari Aceh hingga Papua, dan mereka dirikan AMAN 22 tahun lalu. Mereka membuat pernyataan terkenal “Jika negara tidak mengakui kami, maka kami pun tidak akan mengakui negara.” Rasa frustrasi atas penindasan yang dirasakan masyarakat adat di Indonesia tercerminkan dalam slogan ini.
Dari sini, kami lanjut memperkuat dan memperluas jaringan dengan masyarakat adat di seluruh dunia. Di Asia, kami adalah bagian dari organisasi masyarakat adat Pan-asia, AIPP. Di level global, saya adalah anggota pertama yang menghadiri kelompok kerja PBB untuk deklarasi draft PBB di tahun 2001 atau 2002 lalu--saya kurang ingat tepatnya. Dulu, saya belum bisa bicara dalam bahasa Inggris. Saya hanya tau “yes (iya)” dan “no (tidak)”, tapi saya bisa baca asal perlahan. Karena aktivisme internasional, saya jadi belajar bahasa Inggris meski usia sudah hampir 30. Jadi maaf ya kalau bahasa Inggrisnya ada salah-salah!
AMAN berarti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Kami tidak gunakan kata Indonesia di sini untuk mengakui bahwa kami ada di sini sebelum Indonesia lahir, dan kami akan tetap ada di sini apabila Indonesia runtuh sekalipun. Ini juga merefleksikan sentimen dari kelompok-kelompok di Papua, Aceh, dan Maluku yang dengan keras menolak Indonesia. Yang mempersatukan kami di sini adalah kepulauan nusantara. Ini sejarah nama AMAN. Kebanyakan dasar-dasar berorganisasi kami pelajari dari masyarakat adat di Filipina. Sebagai gerakan sosial, kami belajar banyak dari masyarakat Aborigin, juga masyarakat adat di Amerika Latin. Kami belajar soal pemberdayaan hukum, representasi, dan proses merekrut pemimpin dari orang-orang Sami di negara-negara nordik; Norwegia, Swedia, dan Finlandia. Sebetulnya, merekalah yang mengajarkan pengacara adat kami tentang hak asasi manusia. Kami mendapat banyak bantuan dari saudara-saudara kami, masyarakat adat dari seluruh dunia. Kami belajar soal media dan komunikasi dari organisasi di Alice Spring, CAAMA (Central Australian Aboriginal Media Association atau Asosiasi Media Aborigin Australia Tengah), pernah dengar tentang mereka?
Sam: Riset yang sedang kami lakukan adalah dalam persiapan untuk instalasi kolaboratif yang akan dipamerkan di CAAMA.
Rukka: Wah, seru sekali. Kapan jadinya?
Sam: Rencana kami adalah instalasi video yang dibuat berdasarkan arsip rekaman DSTV, yang dijelaskan dengan konteks dari arsip-arsip CAAMA. Jadi semacam perbandingan antara arsip masyarakat adat milik dua media digital yang berbeda.
Rukka: Kalau begitu, mungkin anda bisa lihat arsip-arsip kami juga, karena DSTV hanya di Toraja. Saya ingat di awal 2006, Saya pindah untuk bekerja di Bangkok. Waktu itu, saya bekerja dengan pusat regional UNDP (Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa) tentang program masyarakat adat. Pada waktu itu, kami berusaha mengarusutamakan pemrograman adat dan perlu membangun komunikasi demi memberdayakan komunikasi kami, agar bisa dibawa ke perspektif masyarakat adat. Kami membuat apa yang disebut komunikasi untuk pemberdayaan masyarakat adat.
Waktu pertama bertemu di Sarawak, Malaysia, kami mengajak seseorang dari CAAMA untuk datang membantu. Kami punya platform TV digital yang akan datang, radio, surat kabar, buletin, website, bahkan dasar satelit di Kanada. Kami berkumpul untuk diskusikan bagaimana cara gunakan komunikasi untuk memberdayakan masyarakat adat.Kami mengadakan rapat strategis tanpa henti selama sekitar tiga hari, dan mendapat ide untuk sebuah platform untuk Asia Tenggara yang masih digunakan sampai sekarang. AMAN mendapat bantuan dari mereka, dari dulu saat kami baru punya konsep ini di level regional dan belum nasional. Kami membuat AMAN pelajari komunikasi untuk memberdayakan masyarakat adat di Indonesia, dari sinilah muncul program komunikasi dan pemberdayaan dengan AMAN. Kami melatih anak muda agar paham videografi, pembuatan film, fotografi, dan jurnalisme. Kami membuat radio komunitas, situs web, sistem bank data, dan arsip. Kami belajar banyak sekali dari CAAMA. Saya ingin sekali ke Alice Springs suatu hari nanti, untuk bertemu mereka. CAAMA adalah salah satu inspirasi bagi AMAN, jadi saya ingin berterima kasih ke mereka.
Sebagai bagian dari organisasi pemuda adat kami, kami punya yang disebut gerakan ponsel cerdas (smartphone), mereka menggunakan ponsel untuk mendokumentasikan berbagai situasi. Kami gunakan dokumentasi ini untuk promosikan budaya dan hasil kerja kami, serta melaporkan pelanggaran hak asasi atau pencaplokan tanah yang terjadi. Jadi, kalau anda perlu akses ke arsip-arsip ini, bilang saja ke kami. Kami juga mendokumentasikan ritual, meski rekaman cukup simpel, karena mereka biasanya menggunakan ponsel cerdas yang sangat sederhana. Kami melakukan apa yang disebut komunikasi untuk pemberdayaan, karena bantuan CAAMA.
Tidak ada platform di mana orang-orang yang tinggal di Indonesia bisa berdiskusi antarbudaya. Kami hidup di dalam cangkang kami maisng-masing, seperti katak dalam tempurung, meski bersuara, tapi sendiri. Kami tidak punya bahasan ini di kurikulum. Kami diajarkan bahwa hanya ada satu sejarah negara, hanya ada satu budaya. Semuanya seragam.
Afifah: Anda banyak bercerita soal generasi muda. Saya sangat tertarik soal ini, sebagai anak muda di Indonesia. Wacana soal rasisme sistemik di Indonesia lumayan jarang dibicarakan. Lain dengan Nasionalisme, yang sangat kuat, sangat akut. Kami tumbuh di sekitar bahasan-bahasan ini dan diminta untuk mendukung keragaman masyarakat di negara kita, tapi kami jarang diminta bicara soal hak masyarakat adat di Indonesia. Apa pandangan anda tentang ini? Bagaimana cara AMAN komunikasikan misi mereka ke generasi muda yang bukan bagian dari komunitas AMAN, bukan bagian dari masyarakat adat?
Rukka: Oh, Afifah, Sepertinya kita perlu waktu seharian untuk bahas ini. Anda betul sekali, karena inilah realitas komunikasi. Saat berbicara tentang media, di platform apapun yang kami punya, meski di media lama, riset di tahun 2011 menyebutkan bahwa kehadiran masyarakat adat di media selalu terikat dengan konflik berdarah atau hak asasi. Ini berhubungan dengan persepsi para jurnalis, yang tidak menangani atau menggambarkan situasi masyarakat adat dengan baik. Karena ada tendensi di jurnalisme yang menganggap semakin berdarah, brutal, dan banyak yang meninggal, semakin banyak pula pembaca yang akan tertarik.
Jadi saya rasa jurnalisme konvensional di Indonesia memang punya peran di sini. Sementara itu, para pembaca dan penontonnya pun senang mendengar hal-hal yang mistis dan tidak masuk akal. Media mengarang tentang banyak hal. Afifah, mungkin kamu ingat soal acara “Primitive Runaway” di TransTV? Kami mengirimkan keluhan resmi ke dewan media; mereka akhirnya merubah judulnya menjadi “Ethnic Runaway”, tapi tetap dengan konsep yang sama.
Afifah: Saya ingat. Jahat sekali.
Rukka: Acara tersebut memposisikan budaya dan masyarakat adat sebagai sesuatu yang tidak manusiawi. Kami dengar dari anggota-anggota AMAN, waktu kru acara ini datang, mereka diminta untuk berperilaku seperti ini, seperti itu--semuanya diatur. Gambaran buatan ini membentuk persepsi publik, khususnya generasi muda.
Kalau dilihat dari tindakan dan kebijakan yang diberikan pemerintah, Bhinneka Tunggal Ika tidak pernah jadi bagian dalam semangat Indonesia. Menurut para bapak bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika adalah sumber kekuatan kita. Meski begitu, tidak ada pendidikan mengenai ragam budaya di Indonesia. Pada era Suharto, ia mengenalkan istilah SARA; Suku, Agama, Ras dan Antargolongan sebagai hal-hal yang tidak boleh dibicarakan--bukan demi perlindungan, tapi untuk memastikan kita duduk diam di ranah masing-masing dan tidak berdiskusi satu sama lain. Tidak ada platform di mana orang-orang yang tinggal di Indonesia bisa berdiskusi antarbudaya. Kami hidup di dalam cangkang kami masing-masing, seperti katak dalam tempurung, meski bersuara, tapi sendiri. Kami tidak punya bahasan ini di kurikulum. Kami diajarkan bahwa hanya ada satu sejarah negara, hanya ada satu budaya. Semuanya seragam. Saya rasa ini yang sangat merusak negara ini, dan kita bisa lihat hasilnya sekarang. Orang-orang semakin intoleran terhadap yang berbeda, saling membenci sesama. Ini karena Suharto melarang kami untuk mengenal satu sama lain. Contohnya, Afifah, bagaimana saya bisa kasihi anda, sebagai sesama warga negara, kalau saya tidak kenal anda--kalau saya tidak tahu apa yang anda inginkan, siapa anda, apa visi, aspirasi, dan tradisi budayamu?
Hasil evaluasi komunikasi kami menunjukkan bahwa kita selama ini berkomunikasi dalam ruang gema; kita hanya berkomunikasi antar sesama. Platform komunikasi kami didirikan di 2012, tapi sebelum itupun kami mempersiapkan anak-anak muda dengan alat dan keterampilan berkomunikasi. Sekarang, kita punya platform komunikasi, tapi orang malah gunakan Facebook. Tapi tampaknya selama ini komunikasi kami hanya antara sesama saja.
Kami sedang coba mengontak anak-anak muda di kota dan kami akan luncurkan apa yang kamu sebut “Manusia Nusantara” atau “humans of the Archipelago.” Kami ingin bagikan kisah-kisah masyarakat adat lewat bahasa populer yang bisa dipahami orang lain. Kami berinvestasi besar-besaran di generasi muda. Target komunikasi kami adalah para milenial dan Gen Z.
Teman saya baru-baru ini mulai mengajarkan cara berkomunikasi dengan generasi muda. Kami mengadakan “Q&A with Rukka” untuk mencapai generasi muda di perkotaan, khususnya mereka yang bukan bagian dari masyarakat adat. Ada banyak hal yang terjadi di desa yang kita belum tahu bagaimana cara komunikasikannya. Maksud saya, ada banyak potensi dukungan yang bisa kami dapat di area perkotaan.
Di Indonesia, kebijakan dibentuk oleh amarah rakyat. Kalau anda ingin mempengaruhi keputusan pemerintah, anda harus pastikan ada sejuta orang yang meneriaki Jokowi, agar Ia dengar. Itulah yang akan kami lakukan. Kalau anda kenal orang-orang yang tertarik atau punya ide, tolong bantu kami. Kami benar-benar butuh bantuan. Anak-anak muda di komunitas kami sangat sibuk. Mereka berhasil mematahkan tabu yang menganggap hidup enak hanya bisa dilakukan di perkotaan, agar bisa sekolah lalu kerja untuk perusahaan. 10 tahun terakhir ini kami menyaksikan sebuah gerakan untuk pulang. Orang-orang muda kembali pulang ke desa. Mereka mengelola dan melindungi desa.
Beginilah cara kita selamat dari pandemi; karena generasi muda dan perempuan. Kalau anda lihat situasi masyarakat adat di Indonesia dan di negara-negara lain, khususnya di Amazon atau di Afrika--situasi kami selama pandemi berbeda karena kami lebih siap. Ini yang terjadi sekarang. Pergerakan generasi muda masyarakat adat kini lebih organik. Prosesnya cukup panjang--kembali ke alam bukan hanya soal merehabilitasi tanah dan tanaman, pertama-tama kita harus rehabilitasi pola pikir dulu.
Afifah: Saya membaca artikel ini; Indigeneity and the State in Indonesia: The Local Turn in the Dialectic of Recognition, dari Journal of Current Southeast Asian Affairs.
Mereka membahas berbagai wacana seputar orang-orang asli di Indonesia. Satu wacana menyebutkan bahwa mayoritas orang Indonesia, para pribumi, adalah orang asli. Artikel ini memberi contoh kasus ketika kelompok muslim konservatif menggunakan wacana serupa untuk menyerang Ahok di 2017 terkait kasus penistaan agama; bahwa masyarakat mayoritas asli terancam oleh masyarakat minoritas. Menurut anda sendiri bagaimana? Di mana seharusnya ada garis pemisah antara masyarakat pribumi--yang mayoritas--dan masyarakat adat? Kebanyakan orang Indonesia mengidentifikasi diri lewat etnisitasnya, seperti saya, Saya mengidentifikasi diri dengan identitas saya. Orang berasumsi semua orang di Indonesia memiliki adat mereka masing-masing, tapi kenyataannya tidak begitu. Apa pendapat anda tentang ini?
Rukka: Ini salah satu masalahnya; para peneliti ini tidak punya informasi yang cukup. Mereka membangun hipotesis dan menganalisa berdasarkan material yang ada. Padahal, material tersebut tidak selalu mencerminkan kenyataan yang ada; para peneliti pun punya bias. Dalam kasus ini, Saya tidak bisa bilang saya tidak setuju dengan artikel tersebut, tapi saya juga tidak sepenuhnya paham pandangan artikel tersebut atau bagaimana artikel tersebut merefleksikan situasi yang ada
Menggunakan istilah ‘pribumi’ sendiri sebetulnya sangat merendahkan karena kata tersebut sesungguhnya sangat rasis. Di 1993, para pemimpin adat dari seluruh Indonesia menolak digunakannya kata ‘pribumi’ untuk menyebut masyarakat adat, karena artinya sangat menghina, sangat rasis, dan digunakan untuk menindas orang Indonesia. Pada era Belanda, kelompok Tionghoa dan Jepang memiliki status sosial dan politis yang lebih tinggi dari kami, orang ‘pribumi’. Jadi istilah ini tidak lagi relevan. ‘Pribumi’ digunakan oleh para politisi untuk mendapatkan keuntungan politik. Kenapa? Karena saat kata ‘pribumi’ digunakan, kita menargetkan dan menolak peranakan Tionghoa--hanya keturunan Tionghoa, bukan Arab atau orang-orang lain. Ini digunakan hanya untuk memenuhi tujuan politik para elit, karena mereka menargetkan lawan politiknya yang merupakan keturunan Tionghoa. Mereka tidak sadar bahwa populasi peranakan Tionghoa--bapak, ibu, dan kakek-nenek mereka juga berkontribusi untuk Indonesia.
Ini disebabkan tidak adanya catatan di sejarah; tidak ada yang cerita, dan tidak ada yang mau mencari tahu karena mereka begitu terperangkap di situasi politis ini. Jadi saya tidak bisa berkomentar soal artikel tersebut. Penulis ini adalah teman baik saya, kita sering berbicara tentang ini. Tapi, pikiran ia adalah pikirannya sendiri, saya tidak bisa ambil andil. Saya sudah kemukakan apa yang saya tahu, pikirkan, dan rasakan ke dia, tapi saya tidak bisa merubah cara pikirnya. Tapi, saya juga tidak bisa menghakimi dia juga
Afifah: Maaf sebelumnya, Rukka. Tapi, saya ingin tekankan bahwa para penulis tidak menggunakan kata ‘pribumi’ dengan asal, tapi hanya untuk mengacu pada penduduk asli dan mayoritas. Tadinya, saya punya pandangan sama tentang pribumi karena saya tidak tahu asal istilahnya. Terima kasih sudah memperjelas signifikansinya kepada kami, yang baru tahu hubungan kata tersebut dengan konsep “sebelum bumi”, dan bahwa kata tersebut merendahkan.
Rukka: Memang kata tersebut sangat merendahkan dan rasis. Saya rasa salah satu masalahnya adalah mereka tidak mau menggunakan istilah ‘masyarakat adat’.
Afifah: Karena terlalu politis?
Rukka: Mereka bilang “terlalu politis.” Tapi, apa sih yang tidak politis? Menggunakan ‘pribumi’ itu politis. Menggunakan ‘orang asli’ juga politis. Apapun yang kamu gunakan, itu politis. Yang perlu kita pahami adalah relasi politik di balik penggunaan kata-kata ini. Mereka selalu bilang menggunakan ‘masyarakat adat’ bisa memulai perpecahan di Indonesia. Tapi ya yang benar saja! Kalau kamu pergi keliling Indonesia sekarang, kamu akan temukan bahwa kebanyakan masyarakat adat tidak akan bilang mereka menolak Indonesia. Tentu, kalau kamu pergi ke forum internasional, Indonesia akan selalu bermasalah dengan representatif dari Papua dan Maluku, karena mereka menceritakan pengalaman asli rakyat mereka yang pemerintah Indonesia tidak ingin dengar dan tidak ingin orang lain dengar. karena itu, mereka menggunakan konteks ini untuk mengkamuflase situasi di Papua dan Maluku, dengan menyatakan bahwa tidak ada masyarakat adat di Indonesia, bahwa konsep masyarakat adat mengancam persatuan Indonesia, tapi beginilah situasi politik sekarang! Kalau soal kewajiban hak asasi manusia dan Human Rights Forum (forum hak asasi manusia), menyebut nama dan mempermalukan (naming and shaming) masih jadi taktik yang relevan digunakan oleh masyarakat adat di level internasional, karena pemerintah terus menyangkal keberadaan kami, karena mereka tidak mau memenuhi kewajiban mereka. Jadi, bagi saya tidak ada istilah yang tidak politis.
Afifah:Terima kasih! Wawancara ini jadi pencerahan buat saya.
Sam: Untuk saya juga! Terima kasih untuk waktu dan bantuan anda.
Rukka: Sama-Sama! Saya selalu senang kalau ada kesempatan berbicara tentang masyarakat adat. Ini kewajiban saya; tugas saya!