Dalam laku artistiknya, Léuli mengintervensi ranah pameran & pergelaran untuk memusatkan penggambaran (visualisasi) diaspora Masyarakat Asli global dan Asia, bahasa dan lisan sensual, hingga praktik seremonial politik. Melalui pertunjukan, sinema, tulisan dan instalasi, Ia terlibat dalam persoalan masa depan Masyarakat Asli yang dihantui oleh kekerasan militourist dan misionaris yang menghapus orang faʻafafine-faʻatane dari struktur kekerabatan dan pengetahuan. Sebagai seorang kurator, pembicara dan pendidik, Eshrāghi berkontribusi untuk menumbuhkan praktik kritis di ranah internasional, terkhususnya Samudra Besar dan Amerika Utara yang ia langsungkan melalui residensi, pameran, publikasi, edukasi dan advokasi hak-hak.
Selama karirnya, Eshrāghi telah mengkomisikan karya-karya untuk Biennale Sydney ke-22, Sharjah Biennial 14, Australian Centre for Contemporary Art dan Smithsonian Asian Pacific American Center di antara pergelaran kolektif maupun soliter yang diadakan di sepanjang Australia, Kanada, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Ia juga pernah memberi kuliah di acara Creative Time, Hawai'i Contemporary Art Summit, Experimenter Curators’ Hub, March Meeting, Global Asia/Pacific Art Exchange, Dhaka Art Summit, Pacific Arts Association, dan Asia Pacific Triennial, serta di universitas-universitas Eropa, Asia dan Amerika Utara. Eshrāghi adalah seorang rekan postdoctoral Horizon/Indigenous Futures pertama di Concordia University. Penelitian pemenang penghargaan nya termasuk gelar PhD dalam Praktik Kuratorial dari Monash University, dan gelar BA (Honours) untuk Sastra Francophone dari University of Melbourne. Eshrāghi menjabat sebagai Kurator untuk TarraWara Biennial of Australian Art ke-9 (2023) di TarraWara Museum of Art (Australia).
Pada awal tahun 2021, Chris memperkenalkan kami pada karya Léuli, yang ia temui pada tahun 2020 di Mparntwe, sebagai contoh seorang seniman dan kurator inovatif dan juga berpengaruh yang saat ini aktif berkarya. Karya, tulisan dan diskusinya bersama kami telah membuka mata pikiran dan meluaskan wawasan kami terkait ide dan praktik seni yang merangkul pluralisme linguistik dan budaya, ide dan praktik yang menantang mode produksi dengan karakter hierarkis dan biner yang kerap berlaku, dan pada akhirnya, memberikan pandangan dunia yang penuh kasih dan inklusif. Selama percakapan kami, Léuli menjelaskan beragam aktivitas dan karya-karya yang ia lakukan selama beberapa tahun terakhir dan juga apa yang ia tekuni saat ini. Keragaman serta keluasan praktik seninya adalah bukti cinta dan komitmen terhadap apa yang Léuli lakukan.
Pengalaman yang ia bagikan mengenai ko-kreasi antarbudaya telah memberi kami kesempatan untuk memikirkan metode-metode kolaborasi kami sendiri, terutamanya terkait bahasa. Bekerja bersama secara multibahasa kadang menghadirkan kesulitan dan hambatan, namun hal tersebut turut memperkaya pengalaman seniman terhadap prosesnya dan juga pengalaman audiens dari karya tersebut. Proses penerjemahan dan interpretasi yang seringkali panjang dan rumit, memberikan kami wawasan bukan hanya terhadap bagaimana orang lain hidup di dunia, namun juga bagaimana bahasa diri sendiri mencerminkan cara kita hidup dalam hubungannya dengan orang lain. .
Diskusi ini terbukti sangat informatif namun juga sangat membesarkan hati. Léuli mengambil pengalaman dan ide-ide pribadinya dalam membimbing dan memberikan kami pencerahan pada konteks kegiatan kami sendiri. Wawasan, keterbukaan dan kehangatannya menginspirasi kami untuk meneladani dan menciptakan kembali sikap itu dalam karya-karya dan kehidupan kami. Juga sebagai seniman dan fasilitator, kami merasa diskusi semacam ini sangatlah signifikan dan formatif. Léuli adalah seseorang yang kami hargai dan kami merasa sangat istimewa dapat berdiskusi bersamanya dengan sangat detil dan dekat (meskipun terbatas oleh jarak fisik). Terima kasih Léuli!
Sam: Terimakasih sudah bergabung dengan kami! Sekarang, mungkin anda bisa menceritakan sedikit tentang diri anda, kegiatan anda, dan tema-tema umum atau benang merah yang terkandung dalam karya-karya anda, baik yang sifatnya artistik maupun kuratorial
Léuli: Terima kasih sudah mengundang saya dalam forum ini. Nama saya Léuli Eshrāghi. Ayah saya orang Persia yang berasal dari Najafābād, yang merupakan sebuah desa yang terletak di luar Esfāhān, di Iran. Ibuku berdarah Sāmoa, Kanton, dan Eropa, dari empat desa di kepulauan Sāmoa; Āpia, yang merupakan ibu kota Sāmoa, Leulumoega, Siʻumu dan Salelologa. Saya dibesarkan disana dan juga di Australia, dan sekarang saya tinggal di nipaluna (Hobart) di Negeri muwinina.
Saya tumbuh besar berbicara dalam bahasa orang tua saya, kemudian saya pergi bersekolah di negara bagian Queensland dan disana, kebiasaan tersebut semacam dikeluarkan secara paksa dari diri saya. Bahasa selalu merupakan bagian yang sangat penting dari praktik kreatif saya. Saya belajar bahasa Prancis, bahasa Kreol Vanuatu, bahasa Spanyol dan bahasa-bahasa lainnya, mengecimpungkan diri saya sebagai seorang remaja dan dewasa muda. Realitas multibahasa yang benar-benar terkedepankan dan kemungkinan berbagai bahasa hidup berdampingan dalam suatu ruang sangatlah penting dalam cara saya memandang dunia dan bagaimana saya berkarya. Hal tersebut terwujudkan dalam bentuk tulisan dalam berbagai bahasa, penampilan dalam karya-karya pertunjukan dalam berbagai bahasa, dan juga, saya telah mengedit beberapa publikasi dalam bahasa Prancis dan Inggris. Bahasa sangatlah penting bagi saya dan menantang gagasan yang terdapat di dunia seni bahwa bahasa Inggris adalah kunci atas segalanya. Saya tahu bahwa kalian adalah suatu kolektif multibahasa, jadi apa yang saya katakan ini tampak seperti berkhotbah ke paduan suara. Setiap kali sesuatu dibaca dalam terjemahan bahasa Inggris - yang tentu saja dapat memiliki bobot yang sama dengan bahasa lain, teks-teks asli, karya seni atau pidato atau apa pun itu - selalu ada nuansa-nuansa lain yang hilang atau tidak sepenuhnya terkomunikasikan. Itu salah satu komponen.
Saya seorang Queer, saya seorang non-biner. Saya mengidentifikasikan diri saya dengan gender asli Sāmoa Faʻafafine, yang merupakan semacam fluid femme. Masyarakat di Sāmoa, dan di kepulauan-kepulauan Oseania lainnya, pada umumnya merupakan masyarakat Kristen yang sangat, sangat konservatif, cukup mirip dengan beberapa komunitas terpencil yang ada di Australia. Jadi komponen lain dari pekerjaan saya adalah menyatukan para seniman dari berbagai jenis kelamin dan seksualitas untuk bersama dalam pameran-pameran atau berkolaborasi dalam karya-karya pertunjukan atau karya video dengan saya.
Apa yang saya kerjakan saat ini, tahun ini dan tahun lalu, adalah satu pameran yang bernama Sāmoan Hxstories, Screens and Intimacies, sebuah proyek arsip perfilman dari tahun 1995 hingga tahun ini, atas seniman Sāmoa yang membuat karya yang berkaitan dengan tubuh atau keintiman atau sensualitas, dari semua diaspora yang berbeda-beda di Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Kanada pada khususnya. Mayoritas orang Sāmoa sejak sekitar tahun 80-an tinggal di negara lain. Tidak ada suatu tempat sentral yang seseorang dapat datangi untuk mempelajari sejarah perfilman dan sejarah kesenian Sāmoa, semuanya betul-betul terpencar. Banyak dari apa yang saya lakukan saat ini adalah mencoba untuk mengumpulkan hal tersebut. Saya akan membagikan sebuah tautan ke sesuatu yang sangat menginspirasi kami. Proyek ini bernama Sami Art Museum, yang merupakan sebuah pertunjukan museum di Museum Seni Norwegia Utara pada tahun 2017. Proyek ini memiliki banyak masalah, saya diberitahu oleh beberapa rekan saya dari etnis Sami, seperti bahwa proyek tersebut tidak benar-benar didorong oleh orang-orang Asli. Tapi sebagai sebuah konsep, saya pikir itu menarik.
Ada sebuah universitas di Sāmoa dan sebuah Community College di Sāmoa Amerika, yang merupakan perguruan tinggi formal yang sangat konservatif. Tak satu pun dari mereka yang mengajarkan seni, dan tak satu pun dari mereka yang mengajarkan pembuatan film. Mereka juga tidak mengajarkan kenyataan bahwa kita sangat dijajah dan kita memerlukan dekolonisasi. Mereka seperti “kita berada di zaman kegelapan, orang kulit putih datang, dan sekarang kita hidup dalam Kekristenan” dengan cara yang sangat dangkal dalam menghubungkan segala kompleksitas yang ada. Jadi, proyek ini tidak terlalu bergantung pada persetujuan pemerintah - yang legitimasinya tidak terlalu saya yakini - tetapi masih bekerja dengan banyak orang dalam masyarakat Sāmoa untuk memberikannya legitimasi budaya. Ini adalah satu proyek.
Saya juga berkontribusi pada dua pameran tahun lalu dan tahun ini sebagai bagian dari ImagiNATIVE Film Festival di Toronto dan online, yang menampilkan karya-karya tersebut secara fisik di sebuah setting galeri seni di sebuah ruang galeri di Toronto. Mereka adalah pameran pendahuluan atas pameran yang akan dilaksanakan, mungkin pada tahun depan atau tahun setelah kami mendapatkan dana dan pindah ke museum digital. Saya sangat suka menggunakan bahasa museum untuk membuat orang memahami bahwa budaya kami layak untuk dihargai dan divalidasi dan dipelajari dan semacamnya.
Saya banyak bekerja dengan koleksi barkcloth[1] museum, terkhususnya dari Sāmoa, dan dari tempat lain juga. Terutama sejak pandemi dimulai, saya telah membuat banyak karya digital. Jadi yang pertama sebenarnya melalui Monash University. Namanya TAFA (((O))) ATA. Pada bulan April dan Mei 2020, segala hasil kerja saya dalam setahun telah menguap, saya kehilangan pekerjaan, dan saya seperti baik-baik saja, apa yang akan saya lakukan? Saya seharusnya kembali ke Kanada, tetapi saya malah berada di Arnhem Land dengan pasangan saya. Jadi, antara dalam keadaan mabuk dan merasa tertekan, saya ingat saya selalu ingin melihat di mana semua barkcloth ini berada di seluruh dunia. Jadi saya menghabiskan waktu berminggu-minggu, mungkin tiga minggu tanpa henti melihat semua koleksi di seluruh Amerika Utara dan Eropa. Ada puluhan ribu barang dari mana-mana, tempat-tempat yang bahkan tidak saya sadari memiliki koleksi yang sangat lengkap. Jadi, saya mulai membuat pekerjaan, yang semacam kelanjutan digital dari praktik-praktik itu. Kulit dari pohon murbei dan pohon kembang sepatu dilucuti, direndam, dipukul-pukul, direndam, ditumbuk dan kemudian diregangkan lagi, dan kemudian orang mengecat tangan atau membuat stensil dengan desain yang berbeda. Desain tersebut berasal dari sebuah keumpulan motif, yang dibagi-bagi di antara Tonga, Fiji, Sāmoa dan kepulauan lain di sekitarnya. Saya pikir mereka berkaitan dengan desain tato yang menghubungkan kita sampai ke Taiwan, melalui Indonesia, melalui orang-orang Austronesia, dengan sejumlah variasi, tentu saja. Ini adalah bahasa visual yang sebagian sangat spesifik, tetapi sebagian lainnya sangat terbagi-bagi. Saya membuat animasi dan puisi futuris berlatar tahun 2025, membayangkan bahwa segala sesuatunya telah berubah. Jika hal-hal dapat berubah begitu banyak dalam beberapa bulan, maka tentu dalam waktu empat tahun - dalam waktu lima tahun pada saat itu - kita bisa baik-baik saja, kita bisa merasakan lebih sedikit trauma antar-generasi, dan hal-hal semacam itu.
Dua karya lainnya membentuk tiga dari rangkaian lima karya, yang saya namakan Siapo viliata o le atumotu, yang mana seperti suatu kain kulit kepulauan (Sāmoa) yang hidup. Mereka didasarkan secara longgar dari barkcloth tertua yang pernah saya temui, yang berasal dari sekitar tahun 1700 dan 1750, jadi sekitar 150 tahun sebelum penjajahan (Eropa) di Sāmoa dimulai secara resmi pada tahun 1830. Mereka diberikan kepada Ratu Victoria, jadi mereka ada di British Museum, di Hunterian Museum di Glasgow, Quai Branly di Paris, di seluruh Eropa. Saya ingin menghubungkan diriku dengan mereka sehingga mereka tidak hanya menjadi semacam relik dingin di museum. Ini adalah sejarah intelektual dan estetika kami, sungguh. Dan karena hampir tidak ada lagi hal seperti ini di kepulauan (Sāmoa), sangat sulit di tempat-tempat tertentu di mana, contohnya, orang-orang masih membuat barkcloth, tetapi tidak dalam skala sebesar dulu, yang sangat, sangat besar, yang sekarang kebanyakan hanya dibuat oleh orang- orang di Fiji dan Tonga, tapi kami (di Sāmoa) tidak lagi membuatnya dalam ukuran yang sangat besar. Kemudian, tentu saja, kebanyakan orang Sāmoa (kini) tinggal di negeri orang lain, jadi mereka tidak bisa lagi menanam pepohonan yang sama (seperti di Sāmoa) dan melakukan itu. Saya berpikir untuk berpindah ke ruang ini.
Itu juga mempengaruhi sablon yang saya lakukan untuk satu pekerjaan besar tahun lalu tepat sebelum pandemi untuk Sydney Biennale. Ini adalah karya kedua, AOAULI. Tafa-o-ata berarti fajar dalam bahasa Sāmoa, Aoauli merupakan tengah hari, dan karya tengah pagi (Taeao) baru keluar minggu lalu, atau minggu sebelumnya, tetapi ia seharusnya keluar di tengah-tengah, hanya saja ia tertunda sangat lama. Ini diambil di tanah liat di selatan Alice Springs. Demikian pula, itu juga berlatar di tahun 2025 dan memiliki banyak gerakan tarian dari beberapa tarian tradisional, dan lebih banyak gambar dari koleksi barkcloth yang telah saya manipulasi dan ubah. Saya juga menyertakan arsip, yang menurut saya akan menarik untuk kalian juga. Yang pertama adalah barkcloth dengan rekaman suara, satu potongan gambar teks dan empat video. Dan kemudian jika kalian mengklik bagian arsip [kanan atas halaman], ini adalah upaya pertama untuk menyatukan karya seni, teks, video pertunjukan, tesis Master dan PhD orang-orang, dan semacamnya. Karena seperti yang saya katakan, ada lebih banyak penekanan pada ilmu sosial atau politik dalam pendidikan yang terjadi di Sāmoa, dan kemudian karena kemiskinan antargenerasi, banyak orang yang tinggal di negara lain tidak begitu tahu banyak tentang sejarah seni dan perfilman kami. Jadi saya sudah mencoba untuk menyatukan beberapa di sini. Ini adalah gagasan, sejarah intelektual, dan praktik kreatif. Saya pikir benda tertua di sana berasal dari tahun 2002, dan kemudian yang terbaru adalah dari tahun lalu. Ini diluncurkan pada Oktober 2020. Saya pikir saya akan melakukannya secara berbeda sekarang jika saya bisa, seperti memiliki sesuatu yang berpindah-pindah atau kalian dapat mengetik dan mencari sesuatu. Tetapi setidaknya memiliki banyak tautan dan PDF adalah satu awalan yang baik.
Jadi itu adalah karya kedua dan karya yang terbaru, jika kalian pergi ke Subspace, yang merupakan proyek Melbourne lainnya, sebenarnya, ketiga-tiganya didukung oleh institusi-institusi seni Melbourne, yang mana sangat menarik. Dan sepanjang waktu saya tinggal di Alice Springs atau di Arnhem Land. Saya sangat terhormat dapat menjadi bagian dari mereka. Jadi yang ketiga, yang seharusnya menjadi yang kedua, akhirnya tertunda selama sembilan bulan. Jika kalian mengklik situs web itu, ada banyak karya di sini. [berbagi layar] Ini seperti museum digital. Ini seperti abstraksi pasang surut yang berdasarkan tepian gambar dari koleksi barkcloth di museum-museum. Ada satu di atas dan kemudian satu di bawah. Anda dapat melihat beberapa tekstur bagian yang dimanipulasi atau dipindahkan. Lalu, ada sebuah puisi yang pertama kali saya tulis pada tahun 2018, dan kemudian saya tulis ulang untuk proyek ini setelah nenek saya meninggal tepat sebelum saya pindah ke Alice Springs pada Juli tahun lalu. Ia adalah pemimpin di keluarga dan sangat penting dalam banyak budaya, dan ia juga merupakan seorang seniman. Aku benar-benar ingin turut menghormatinya. Taeao berarti pagi, tetapi ia juga berarti besok. Jadi ada banyak aspek puitis dalam pemaknaan ganda semacam ini.
Kemudian, untuk menyelesaikan putarannya, akan ada tengah hari, sore, dan mungkin tengah malam, yang mungkin akan membutuhkan waktu beberapa tahun dari sekarang. Jadi itulah garis besar dari apa yang saya kerjakan secara kreatif.
Saya benar-benar merasa terhormat untuk membuat instalasi yang sangat besar untuk Sydney Biennale tepat sebelum pandemi. Ini adalah beberapa dari install shots nya. Salah satu kuil dari zaman prakolonial di dekat sejumlah tanah klan saya di pegunungan didedikasikan untuk dewa gurita. Jadi saya mencoba untk meniru tentakel dengan kain yang dicetak sablon. Beberapa motif merupakan motif buatan dan beberapa didasarkan dari hasil menghabiskan waktu di koleksi museum dan melihat apa yang akan dibuat oleh para nenek moyang. Lalu ada kolam emas di bawahnya. Kami melakukan beberapa pertunjukan, di mana saya bekerja dengan tiga kolaborator orang-orang pulau dari Sydney; Kiliati Pahulu, Tommy Misa dan Stelly Gapp. Kami membuat karya video. Banyak dari ini disusun ketika saya tinggal di Montreal. Banyak interaksi antara bahasa dan pemikiran tentang ketika Anda benar-benar jauh dari tempat Anda sebelumnya, jarak tersebut bisa menjadi sesuatu yang baik, baik secara kreatif maupun secara kritis.
Ini lucu karena saya awalnya ingin membuat karya tersebut tentang rimming. Ibuku seperti "Apa kamu bercanda? Kamu tidak dapat membuat karya tentang seks.” Tapi saya seperti "Oh, tidak, orang-orang (disini) tidak akan melihatnya, ia akan ditampilkan di Sydney." Bagaimanapun, saya akhirnya membuatnya lebih umum tentang queerness dan jenis kelamin ganda. Ada semacam cincin biru di atas kolam emas ini yang seperti portal menuju siapa kita sebelum penjajahan dan siapa kita bisa menjadi setelah banyak dari trauma (akibat penjajahan tersebut) tersembuhkan.
Realitas multibahasa yang benar-benar terkedepankan dan kemungkinan berbagai bahasa hidup berdampingan dalam suatu ruang sangatlah penting dalam cara saya memandang dunia dan bagaimana saya berkarya.
Chris: Dimana pertunjukan tersebut (diadakan)?
Léuli: Saya sudah melakukan pertunjukan video dan pertunjukan langsung sedikit sejak tahun 2015 dan seterusnya. Dokumentasi pertunjukan biasanya sangatlah buruk. Jadi saya berpikir, kami akan melakukan ini untuk kamera dan kemudian kami akan melakukan versi live yang lebih panjang. Itulah bagaimana jadinya ini. Kami merekamnya dengan GoPro di salah satu pantai khusus tanpa busana di Sydney, dan cuacanya dingin dan hujan deras, tepat setelah kebakaran. Kami memanipulasinya agar terlihat sedikit hangat. Ya, jadi itulah kira-kira semua yang telah saya kerjakan secara kreatif dalam hal praktik artistik saya.
Saya juga bekerja sebagai seorang kritikus, penulis seni, penyair dan editor. Buku ini [D'horizons et d'estuaires] adalah kumpulan esai pertama yang diedit dan ditulis oleh orang Asli (adat) tentang kesenian masyarakat adat di Quebec. Rekan saya, Camille Larivée dan saya mengedit buku itu, yang terbit pada Desember tahun lalu. Saya telah banyak bekerja untuk mencoba menempatkan karya yang dibuat rekan-rekan saya dalam konteks kesenian Australia, dalam konteks praktik seni global dan kesenian Kanada. Apa yang ingin saya katakan adalah bahwa apa yang terjadi dalam proyek yang berfokus pada komunitas kecil adalah penting, dan mungkin bahkan lebih penting daripada jika Anda pergi ke VCA atau sekolah seni besar manapun di Australia atau di tempat lain. Kita semua memiliki cara yang berbeda untuk mengakses pelatihan, semuanya valid, tetapi (tempat-tempat pendidikan seni) publik besar membutuhkan perubahan besar.
Saya banyak menulis, membuat banyak esai tentang seniman, seniman queer, seniman bangsa Aslidari dalam dan luar negeri, dan membuat banyak puisi untuk pertunjukan. Saya mengerjakan manuskrip koleksi juga.
Secara kuratorial, sebagian adalah yang saya mulai, pertunjukan museum ini. Jadi akan ada proyek kedua, pameran kedua yang akan dibuka di Toronto bulan depan. Kemudian, proyek yang menjadi latar belakang Zoom saya saat ini, yaitu di Ohio, berasal dari partisipasi saya dalam Sharjah Biennial pada tahun 2019. Keluarga ayah saya adalah minoritas yang tertindas di Iran dan kakek-nenek serta bibi saya dibunuh oleh penguasa disana, jadi kami' memiliki hubungan yang cukup tidak pasti, atau kurang, dengan Iran. Jadi, saat pergi dan berpameran di Uni Emirat Arab, saya cukup gugup karena (UEA) sangat dekat (dengan Iran) dan bisa saja saya menghilang, tetapi itu tidak terjadi. Saya di sana berbincang-bincang dengan seorang sejarawan seni, akademikus dari AS yang dulu mengajar kesenian klasik Eropa dan kemudian mengalami krisis dan seperti “Ya Tuhan, bagaimana dengan POC? Bagaimana dengan semua permasalahan yang terjadi dewasa ini?” Jadi dia beralih dan mengajar jenis sejarah seni global yang lebih dinamis. Kami membuat proyek bersama yang disebut Potu faitautusi: Faiāʻoga o gagana e, ia uluulumamau! yang artinya “Jadilah Berani, Guru Bahasa! Ruang Baca". Itu adalah ruang baca partisipatif dan silabus yang dibuat oleh sekelompok seniman. Saya adalah seniman pustakawan pertama. Proyek tersebut sebenarnya didasarkan pada ruang baca serupa dalam pekerjaan yang saya lakukan di Sharjah, di samping pertunjukan yang kemudian saya tunjukkan di Watch This Space di Alice Springs pada Oktober 2019. Saya memiliki pertunjukan yang memiliki susunan dan penampilan yang sangat mirip.
Ini berbicara untuk semua praktik dan orang-orang dari Samudra Besar, yang merupakan istilah yang saya gunakan alih-alih Pasifik, yang merupakan istilah kolonial dari Ferdinand Magellan ketika dia melihat lautan dan memutuskan untuk menyebutnya tenang dan damai, tapi kemudian istilah tersebut dikonotasikan seolah-olah semua orang dari wilayah ini tertundukkan dan diam. Jadi, dari Samudera Besar dan kemudian juga dari Amerika Utara dan dari Australia pada khususnya. Pada dasarnya anda dapat menjalani seluruh pendidikan Anda di Australia, Selandia Baru, Kanada, dan AS, dan tidak banyak belajar tentang tempat-tempat ini. Saya tahu ada tantangan-tantangan lain di Jepang dan di tempat lain di Asia Tenggara dan Timur, tetapi bekerja di negara-negara berbahasa Inggris adalah jenis dimana saya dapat mempengaruhi beberapa hal.
Ini adalah proyek yang masih berlangsung. Ia dimulai pada September tahun lalu, dan akan berlangsung hingga April 2022. Kami berharap pada saat itu orang-orang akan dapat berkumpul secara fisik di Ohio, di kota Columbus. Jadi itu cukup lucu. Disana adalah pusat seni grafis, jika kalian menggulir ke bawah di situs web proyek, kalian akan melihat semua teks yang kami ajukan untuk diakuisisi. Mereka membelinya dan meletakkannya di sana dan kemudian mereka akan pergi dan tinggal di kampus universitas sesudahnya. Kemudian kami masing-masing diundang untuk membuat cetakan. Milik saya yang pertama, yang didasarkan pada beberapa tanah tempat orang tua saya membangun rumah di pegunungan di Sāmoa, dan satu-satunya doa dari zaman prakolonial yang ibu saya bacakan kepada kami ketika kami masih kecil, yaitu doa kepada salah satu dewa burung untuk memohon perlindungan atau jika kaki kamimi tersandung atau semacam itu.
Kemudian saya bekerja sebagai kurator untuk TarraWarra Biennial, yang merupakan Biennial Australia yang akan dibuka pada tahun 2023 pada bulan Maret. Saya bekerja dengan seniman di seluruh Australia untuk itu. Saya pikir itu gambaran yang cukup bagus.
Sam: Sibuk sekali, ya! Anda punya waktu berapa jam dalam sehari?
Léuli: Waktunya tidak cukup!
Sam: Anda telah membahas banyak hal yang ingin saya bahas lebih dalam. Pertama, soal penggunaan bahasa Anda dan perhatian Anda pada bahasa. Saya seorang penutur bahasa Prancis, jadi saya telah melihat bagian bahasa Prancis dari situs web Anda, bersama bagian bahasa Inggris. Saya bertanya-tanya tentang penggunaan istilah "autochtone" dalam bahasa Prancis alih-alih "indigène". Saya tidak paham apa perbedaannya atau apa implikasi dari penggunaan setiap istilah tersebut.
Léuli: Ada beberapa. Saya pertama kali belajar bahasa Prancis di Australia, ketika saya bertemu orang-orang dari Vanuatu dan Kaledonia Baru, ketika saya berusia 12 atau 13 tahun, dan kemudian saya memutuskan untuk belajar agar saya dapat berbicara dengan penduduk pulau lainnya. Saya seperti "Oh, Tuhan, kenapa mereka tidak berbicara dalam bahasa Inggris?" Dan segala perjalanan tersebut dimulai. Saya berbicara bahasa Prancis Oseania selama beberapa tahun, dan kemudian saya pindah ke Prancis, ke Lyon, pada tahun 2008. Dengan cepat keadaan tersebut menyebabkan aksen saya berubah, jadi saya tidak terdengar seperti orang Oseania karena orang dituntut untuk menyesuaikan diri. Kemudian saya menjadi bagian dari komunitas berbahasa Perancis di Brisbane dan Melbourne untuk waktu yang lama, dikelilingi oleh banyak aksen-aksen yang berbeda dan sejenisnya. Tetapi ketika saya tinggal di Montreal, terjadi semacam reset bagi saya dalam hal kosakata.
Buku [D'horizons et d'estuaires] ini diedit dalam bahasa Prancis inklusif, jadi ia tidak menggunakan jamak maskulin dan semacamnya. Hal ini telah menjadi lebih umum di Prancis, Belgia dan Swiss di Eropa juga. Tapi ia diadopsi jauh lebih cepat di Kanada, di mana mereka memelopori feminisasi gelar profesional di tahun 70-an dan 80-an hingga diadopsi dan digunakan oleh pemerintah.
“Autochtone” adalah istilah yang lebih formal yang setara dalam bahasa Inggris dengan autochthonous atau bahasa asli dalam hal bahasa PBB. Tapi di Kanada, itu adalah istilah utama yang diterjemahkan sebagai Aborigin atau Orang Asli. Kemudian "indigène" di Prancis, yang seharusnya memiliki arti yang sama, memiliki konotasi khusus untuk sejumlah masyarakat dengan kaitan khusus dengan Prancis di Afrika Utara ketika mereka masih menjadi koloni Prancis. Ada kelompok berbeda yang menggunakan "indigène" untuk menyebut masyarakat yang tertindas di Republik Prancis. Istilah tersebut tidak benar-benar memiliki konotasi yang jelas laiknya "autochtone". Orang tidak benar-benar menggunakannya di dunia akademis juga. Di Prancis, saya melihat bahwa orang menggunakan "autochtone" untuk merujuk pada masyarakat adat secara global. Yang mana menarik karena di Kanada dan Australia, istilah "Aborigin" digunakan, tetapi istilah tersebut juga digunakan di Taiwan, jadi tergantung dimana Anda berada. Istilah tersebut memiliki konteks spesifik, kita mungkin berbicara dalam bahasa yang sama, tetapi kemudian makna lokalnya akan sangat berbeda. Kuharap itu masuk akal. Saya pikir keduanya benar, tetapi semua orang di Kanada menggunakan istilah "autochtone".
Sam: Aku hampir tidak pernah mendengar orang mengatakan autochtone dalam bahasa Inggris
Léuli: Ya, kata tersebut memang tidak pernah digunakan dalam bahasa Inggris, kecuali dalam konteks hukum HAM internasional. Ia merupakan bagian dari jenis bahasa Inggris tingkat tinggi yang hanya digunakan oleh orang-orang yang fasih dalam bahasa hukum semacam itu. Akan tetapi Deklarasi PBB mengenai Hak-Hak Masyarakat Aslimenggunakan kata Indigenous
Apa yang saya coba teorikan adalah bahwa barkcloth merupakan layar pertama dan proyeksi hanyalah kelanjutan dari praktek yang telah berlangsung selama bertahun-tahun itu. Mungkin pohon-pohon barkcloth sudah tak ada lagi, tapi kita tetap harus menjaga praktik tersebut dalam bentuk digital kedepannya supaya sebagian dari pengetahuan tersebut dapat bertahan. Supaya kita mengetahui jati diri kita.
Sam: Apakah artinya menjadi berbeda ketika kedua kata yang berbeda tersebut digunakan?
Léuli: “Autochtone” bagi saya hanya berarti Orang Asli. Saya juga berpikir bahwa sebagai seorang masyarakat Asli Internasional yang tinggal disini (Australia), tentu saja saya bukan orang asli negeri ini, dimana saya merupakan seorang pengunjung, jadi saya takkan benar-benar merujuk diri saya sendiri dengan kata-kata tersebut dalam konteks Australia, jika itu dapat dipahami.
Afifah: Saya telah menerjemahkan wawancara yang kami lakukan untuk program penelitian ini. Saya juga banyak melakukan terjemahan dari bahasa Toraja ke bahasa Indonesia dan kemudian ke bahasa Inggris. Jadi, ketika Anda menyebutkan soal perubahan makna, itu sesuatu yang selalu saya pertanyakan. Mungkinkah anda bisa memberikan sedikit saran dalam penerjemahan bahasa masyarakat asli, yang bagi saya secara linguistik sangat kompleks, tanpa mengurangi maknanya demi konsumsi para pemirsa?
Léuli: Itu pertanyaan yang bagus. Saya belajar penerjemahan di universitas dan saya tidak menyelesaikan studi master. Yang saya pelajari adalah penerjemahan dan interpretasi Prancis-Inggris. Saya melakukan itu selama beberapa tahun antara pulau-pulau berbahasa Prancis seperti Wallis dan Futuna, Tahiti dan Kaledonia Baru dan kemudian pulau-pulau lain di mana orang-orang berbicara bahasa Inggris. Seluruh pembahasan teorinya benar-benar tentang Prancis, dan saya seperti “tetapi kami berada di daerah kepulauan (Oseania). Disini. Apa yang anda bicarakan?" Karena bahasanya sangat berbeda. Mereka mengajari kita bagaimana mengatakan, misalnya, kata yang berbeda untuk kelelawar, hewan yang terbang di malam hari, tetapi kata yang digunakan di pulau-pulau itu adalah kata yang spesifik (roussette, alih-alih chauve-souris).
Saya akan menyarankan catatan kaki atau banyak konteks. Bagian besar dari apa yang saya lakukan adalah ingin menolak (anggapan) bahwa segala sesuatu dapat dicapai dalam bahasa Inggris. Anggapan tersebut jelas merupakan sikap politik dan orang-orang frustrasi dengan hal tersebut. Mungkin ada beberapa percakapan dalam salah satu bahasa yang Anda terjemahkan dan kemudian Anda hanya bisa memiliki satu baris dalam bahasa Inggris, dan banyak titik, titik, titik.
Tapi, itu sangat tergantung pada konteksnya. Saya mengerjakan sebuah proyek pada tahun 2015 bernama VAI NIU WAI NIU COCONUT WATER dan itu adalah pameran tribahasa pertama di pinggiran utara Brisbane, di Australia timur. Ada komunitas Māori dan komunitas Sāmoa yang sangat besar di sana. Saya ingin membuat pameran untuk komunitas-komunitas tersebut dan menampilkan karya seniman-seniman dari seluruh kawasan yang menampilkan perkebunan dan kelapa dan bagaimana semua orang menyukai air kelapa. Bagaimana di masyarakat kulit putih kelapa seperti semacam makanan super, tapi kelapa merupakan hal yang sangat biasa di seluruh Asia Tenggara hingga ke Kepulauan Oseania. Dalam budaya kami, kelapa adalah nenek moyang, ada cerita pertemuan antara belut dan kelapa dan semacam itu. Saya hanya mencoba membuatnya sedikit lebih kompleks. Tapi topiknya disensor dalam bahasa Inggris oleh dewan kota, yang mendanainya, jadi saya memberi tahu penerjemah untuk versi Māori dan Sāmoa untuk lebih eksplisit tentang hal-hal itu, tentang perbudakan di perkebunan, tentang semua hal-hal berbeda yang telah terjadi. Jadi itulah sisi lainnya. Tapi kemudian untuk Sāmoa, misalnya, saya belum menemukan penerjemah yang juga bukan pendeta di gereja. Hal ini sangat kompleks karena orang tidak dapat benar-benar berbicara tentang seksualitas, orang tidak dapat benar-benar mempertanyakan gereja dan peranannya jika mereka adalah penerjemah, sulit untuk melakukan percakapan semacam itu.
Ini puisi panjang yang kutulis dalam bahasa Prancis, Bislama - yang merupakan bahasa Kreol dari Vanuatu - dan juga sedikit dalam bahasa Sāmoa, sebagai bagian dari proyek terjemahan eksperimental oleh L’Internationale Online di Eropa, yang memiliki orang-orang dari seluruh penjuru dunia. Penulis asli yang karyanya kami jadikan dasar terjemahan eksperimental kami, adalah seniman Filipina non-biner yang tinggal di AS yang menulis tentang Badai Katrina dan berbagai bencana buatan manusia dan jenis struktur rasisme yang menghalangi orang-orang mendapatkan bantuan dan perawatan dalam bencana dan khususnya sentimen anti-kulit hitam di AS dan konteks lainnya.
Saya akan senang untuk terus berbicara atau tetap berdialog di masa depan. Apa yang kamu katakan adalah kamu menerjemahkan dalam tiga bahasa, kan? Itu hebat, luar biasa. Saya benar-benar menyarankan akan sebuah catatan penerjemah. Di bagian bawah halaman, jika kamu pergi ke bagian paling bawah, ada catatan penerjemah. Saya menulis teks dalam bahasa Inggris yang menjelaskan sedikit, tetapi saya juga tidak memberikan banyak alasan. Saya merasa seperti Anda dapat menjelaskan beberapa hal dan kemudian seperti "Saya memilih untuk menerjemahkan istilah ini ke dalam bahasa Inggris seperti ini, tetapi ia juga berarti tujuh hal lainnya", sehingga orang dapat mulai memiliki kosakata dalam bahasa tersebut. Mungkin bahkan catatan tentang logika bahasa tersebut.
Di Hawaii misalnya, terutama dalam bahasa metaforis, mereka memiliki konsep nā kaona, yang merupakan makna ganda dari suatu istilah. Jika kalian membaca teks dari tahun 1880-an, karena mereka memiliki banyak surat kabar berbahasa Hawaii dan semuanya terjadi dalam bahasa Hawaii, mereka mengharapkan para pembaca untuk memahami seluruh catatan tersebut pada saat yang bersamaan. Itu sangatlah canggih, yang saya yakin sama halnya dengan Indonesia, sebelum penjajahan Belanda. Bahkan hanya untuk menjadi seperti "ini adalah terjemahan saya, tetapi anda juga bisa mengatakan kalimat ini dan ini dengan cara lain". Itu menjadikannya sebuah tugas besar, dan saya tahu Anda memiliki banyak kata-kata untuk diterjemahkan, tetapi saya pikir inti dari catatan penerjemah adalah menempatkan beberapa dari diri anda di sana, berbicara tentang proses dan kedudukan anda dalam melakukan penerjemahan. Saya pikir itu sangatlah menarik bagi pembaca. Tapi saya seorang kutu buku bahasa, jadi mungkin itu hanya menarik bagi saya.
Sam: Bagaimana dengan film, seperti subtitle, misalnya?
Léuli: Tuhan, itu sangat sulit. Saya pernah membuat subtitle untuk ACMI di Melbourne, satu episode peragaan busana Perancis dengan lama waktu satu jam, dan yang saya hadapi jauh lebih besar daripada yang saya sanggup tanggung. Saya harus mempelajari semua label fesyen, semua drama label fesyen dan kata-kata seperti “inilah bagaimana sebuah tunik, inilah dan itulah ….” Dan kemudian kode waktu nya. Tuhan, membuat subtitle sangatlah mengerikan. Sulit sekali. Konsep yang mereka ajarkan pada studi Master saya, di Monash, yang tak saya selesaikan di tahun 2010, bahwa subtitle adalah ide yang luas. Karena kita tidak bisa benar-benar menjelaskan nuansa yang ada ketika seseorang membaca dengan cepat dan dialog terjadi dengan kecepatan yang sama dengan orang yang berbicara.
Bagi saya, saya tidak berpikir bahwa orang Sāmoa sepenuhnya heteroseksual. Dan pastinya ratusan tahun yang lalu, saya tidak berpikir bahwa kami adalah masyarakat monogamis. Kupikir kami memiliki hubungan poliamori yang harmonis.
Afifah: Dalam bahasa Toraja, satu kata bisa berarti lima kata dalam bahasa Indonesia dan bahkan bisa berarti lebih banyak kata dalam bahasa Inggris. Jadi memang cukup sulit, tapi untungnya, kami punya teman dari Toraja, orang setempat yang membantu saya menerjemahkan ke bahasa Indonesia, dan kemudian saya menyempurnakan terjemahan tersebut dan menerjemahkannya kembali ke dalam bahasa Inggris. Tapi itu harus didiskusikan dalam komunikasi dengan penduduk setempat dan saya sendiri sehingga mereka dapat menanggapi pertanyaan saya.
Léuli: Dan saya bisa bayangkan bahwa itu semua terjadi melalui layar computer karena mobilitas kalian di Indonesia sekarang ini cukup terbatas. Saya pikir itu proses yang jauh lebih menarik karena terjadi secara tiga arah. Saya akan sangat senang untuk membantumu dalam cara apapun
Chris: Apa yang Afifah maksud adalah proyek dukumenter yang telah kami kerjakan selama empat tahun di Toraja. Proyek tersebut sangatlah menarik, dalam konteks penerjemahan, karena bahasa Toraja tidak hanya satu saja, tetapi ada bahasa Toraja Tinggi dan bahasa Toraja Rendah. Sebagian besar orang Toraja tidak lagi berbicara bahasa Toraja Tinggi. Itu bahasa yang hampir seluruhnya digunakan dalam upacara adat dan oleh orang-orang yang melestarikan upacara-upacara adat tersebut. Jadi mereka menerjemahkan dari bahasa Toraja Tinggi ke bahasa Toraja Rendah dan kemudian ke bahasa Indonesia. Kata yang digunakan semua orang dalam membicarakan tentang hal ini ialah pluralisme dalam bahasa.
Léuli: Menarik. Saya tahu bahasa Jawa seperti itu juga. Bahasa Sāmoa juga memiliki dua jenis cabang bahasa, dan saya hanya dapat berbicara cabang yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Saat saya sedang menyelesaikan studi PhD saya, saya bekerja dengan orang-orang yang menguasai cabang yang lebih tinggi dan saya bertanya pada mereka “Bagaimana jika kita membuat istilah untuk seni instalasi atau sejarah pameran, atau semacam itu?". Jadi kami mencoba beberapa istilah berbeda yang sebagian besar dari kami sukai. Lucu karena saya berangkat dari konsep curator dalam bahasa Inggris, yang berarti seseorang yang mengatur suatu ruang. Dan kemudian semuanya berkata: “tidak, tidak, itu mesti konsep tampilan Samoa yang melayani masyarakat.” Jadi tujuannya sangat berbeda. Dalam bahasa Inggris juga ada juga (konsep semacam itu), tapi ia terasa juga seperti “the manager”, manajer. Lalu jika kita mencoba menggunakan padanan kata “manajer” dalam bahasa Sāmoa, ia tidak terlalu cocok karena “manajer” hanya berarti seorang ketua, atau seseorang yang dibebankan tanggung jawwab oleh masyarakat dan keluarganya.
Sam: Dalam pengalaman saya, bahasa Perancis secara khusus cukup tahan dalam menghadapi evolusi bahasa. Sementara bahasa Inggris tampaknya kurang begitu, setidaknya bahasa Inggris yang umum. Bagaimana dengan bahasa Sāmoa?
Léuli: Karena sebagian besar orang Sāmoa tinggal di luar Sāmoa, saya pikir ada sekitar 300-400 ribu orang Sāmoa yang tinggal di luar negeri dan 200-250 ribu yang tinggal di dalam Sāmoa. Ada 50-60 ribu orang (Sāmoa) di Australia, 100.000 di Selandia Baru, dan sisanya di AS, Fiji, Britania Raya, Jerman dan sebagainya. Bahasa Sāmoa telah mengalami perubahan, tapi bahasa upacara, seperti halnya di Toraja, masih sama dengan yang dipergunakan oleh nenek moyang kami 600 tahun yang lalu. Betul-betul tradisi oral yang teratur. Akan tetapi dalam percakapan sehari-hari, ketika ada sesuatu yang kami tidak ketahui katanya dalam bahasa Sāmoa, kami mengucapkan katanya dalam bahasa Inggris. Jadi, sebenarnya tidak terlalu terjadi perubahan. Semua penulis menulis dalam bahasa Inggris, ada beberapa syair dalam bahasa Samoa, tapi tidak ada penerbit literatur berbahasa Sāmoa. Jadi memang sangat berat. Karena kebudayaan kami berpusat pada pemujaan tetua dan leluhur, perlu izin untuk mebuat kata-kata baru. Saya seperti “saya akan menggunakan kata-kata baru tersebut untuk PhD saya dan saya tidak akan meminta izin karena toh saya tidak akan memperoleh izin tersebut”. Dan kami memerlukan kata-kata baru tersebut.
Saya telah mengusik ibu saya tentang kata-kata yang berbeda untuk waktu yang cukup lama sehingga ia bergabung dalam kelompok penerjemah di Sāmoa, jadi dia adalah bagian dari kelompok orang-orang yang membuat kata-kata baru. Itu secara perlahan terjadi. Tap terakhir kali sebuah novel diterjemahkan ke bahasa Sāmoa adalah pada tahun 1965, yaitu Around the World in 80 Days. Adalah tujuan hidupku untuk memiliki sejenis literatur atau sesuatu lainnya yang terjadi di Sāmoa. Telah ada beberapa pameran di Selandia Baru dimana dimana semua teks dinding dan bahkan sekitar separuh katalog ditulis dalam bahasa Sāmoa. Tapi itu lebih ditujukan pada generasi tua yang tumbuh besar dan sebagian besar dalam kesehariannya berbahasa Sāmoa, karena (sekarang) bahasa Inggris (digunakan) dimana-mana.
Itulah alasan lainnya bagi saya untuk kami ada di internet. Saya tak tahu bagaimana, tapi bahasa Sāmoa adalah salah satu bahasa (yang tersedia di) Google Terjemahan. Itu cukup intens karena aku tahu jika aku bertanya tentang arti sebuah kata bahasa Inggris dalam bahasa Sāmoa pada ibuku, ia akan memberikanku lima jawaban, sementara pada Google Terjemahan, mereka (hanya) akan memberikan satu (pengertian). Jadi masalahnya sama. Bagus bahwa bahasa Sāmoa ada di internet, tapi apakah bagus jika seperti ini? Berapa banyak anak-anak yang dibesarkan jauh dari warisan budaya mereka dan kemudian mencari tahu secara daring dan tidak memiliki sumber daya yang sama (dengan mereka yang belajar secara langsung). Ada banyak sikap dalam komunitas Sāmoa bahwa kalian semestinya sudah tahu (bahasa Sāmoa). Tidak ada padanan Académie Française, Akademi Bahasa Perancis (untuk Sāmoa). Tapi juga, bahasa Inggris tak pernah mengalami reformasi ejaan selama ratusan tahun sementara bahasa Perancis telah mengalaminya pada tahun 2008 atau 2012, dimana kalian tidak perlu memberikan tanda sirkomfleks (Ù) pada kata-kata lagi, dan dikeluarkannya tanda hubung antara kata-kata.
Sam: Saya ingat itu cukup menimbulkan kehebohan.
Léuli: Sementara untuk bahasa Sāmoa, kami mengalami reformasi ejaan pada tahun 2012 dimana mereka mengembalikan tanda diakritik yang sama untuk vocal panjang dan apostrof khusus. Saya baru saja menggunakan keyboard Hawaii karena itu satu-satunya yang mudah dipasang di computer, dan sama. Di tautan puisi itu (lihat diatas), itu adalah apostrof konsonan letup celah-suara (glottal stop) khusus, yang umum dalam banyak bahasa. Pada kasus kami, artinya bahwa 500 sampai 1000 tahun lalu apostrof sebelum ‘O’ atau ‘E’ adalah ‘K’ atau ‘T’. tapi kemudian terjadi perubahan dan orang-orang tak ingin lagi berbicara seperti generasi yang lebih tua.
Sam: Saya ingin berbicara tentang pekerjaan anda dengan arsip-arsip perfilman Sāmoa dan pendekatanmu terhadap pengarsipan secara umum.
Léuli: Saya sekarang ini sedang menulis sebuah esai untuk pameran kedua di Toronto. Film pertama yang pernah dibuat dalam bahasa Sāmoa dirilis pada tahun 2011 dan berjudul The Orator (O Le Tulafale), oleh Tusi Tamasese. Kemudian seni video atau film pendek pertama (yang dibuat dalam bahasa Sāmoa) adalah karya Sima Urale di tahun 1996. Keduanya didanai dari Selandia Baru. Menariknya, jika anda orang Sāmoa dan besar di AS, kemungkinan besar anda takkan bekerja di bidang perfilman, karena tidak ada pendanaan publik. Jika anda (tinggal) di Sāmoa, anda dapat mengakses Prince Claus Fund atau Mondriaan Fund atau lainnya untuk memperoleh pendanaan atas proyek anda, jika anda tahu bagaimana menelusuri dunia seni LSM. Keduanya sangat umum dipelajari dan dipahami sebagai yayasan, sebagai pionir dalam dunia perfilman Sāmoa. Tentunya ada orang,orang, aktor dan lainnya, sebelumnya dan sesudah. Tapi barangkali sejak 2010, sejumlah besar orang belajar di sekolah-sekolah seni di Australia dan Selandia Baru dan beberapa di Hawai’i. Artinya adalah pada saat saya memulai proyek mencoba mengumpulkan arsip ini, saya hanya harus memilih apa yang menurut saya adalah yang terbaik atau yang paling mewakili dari trend umum. Jika tidak, aka nada ratusan orang dalam pertunjukan, yang mana bagus, tapi saya tidak memiliki anggaran atau ruang (yang diperlukan) untuk itu. Ini barangkali tujuan saya untuk kedepannya.
Idealnya, saya akan memiliki semacam saluran Vimeo, yang dibentuk ke dalam situs dan orang-orang dapat mengklik dan menonton karya tersebut. Mereka dapat membaca dalam bahasa Sāmoa dan bahasa Inggris, dan mungkin dalam bahasa Perancis atau bahasa Indonesia, dan bahasa-bahasa lainnya, esai dari orang-orang mengenai karya tersebut atau mengenai sang seniman, apa yang karya tersebut wakili beserta ulasan-ulasannya. Jika (karya tersebut) adalah tentang suatu sejarah tertentu, untuk dapat menetapkan lokasinya di peta. Karena film dan video dapat berkelana begitu mudahnya ketika kita tidak mampu bepergian, mereka adalah cara yang sempurna untuk mulai melindungi atau merawat kebudayaan kami untuk masa depan. Sāmoa, laiknya banyak tempat-tempat lain, sangat terancam oleh perubahan iklam. Mereka telah mengalami empat badai siklon yang sangat buruk pada musim badai siklon lalu, yang normalnya mereka alami sekali dalam sekitar 10 tahun.
Itulah fokus utama saya untuk proyek ini, memikirkan bagaimana membuat sebuah platform online. Tapi kemudian, itu hampir seharusnya di TikTok karena semua orang menggunakannya. Saya sedang berusaha menemukan jalan untuk membuatnya relevan, tapi kemudian saya juga berpikir untuk hanya memiliki satu situs permanan yang mana orang-orang tahu kemana mereka menuju dan melihat-lihat dan setiap lima tahun memperoleh desainer web baru. Atau mungkin tidak sampai lima tahun, mungkin bahkan kurang! Itu tujuanku dengan proyek ini.
Dalam situs imagineNATIVE Film + Media Arts Festival adalah daftar untuk acara tahun lalu, yang terbaru akan segera dirilis. Masih cukup awal. Karena saya tak punya lembaga di belakang saya, ini cara terbaik bagi saya untuk memulainya sebagai seorang pekerja lepas, saya hanya berpikir bahwa ini harus dimulai. Di Selandia Baru, orang-orang sangat pandai dalam mensejarahkan diri mereka sendiri, menulis buku, membuat kritik seni atau film, festival film, lembaga kesenian, koleksi dll. Tapi mereka tak memikirkan tentang orang lain. Jadi, walaupun saya memiliki hubungan dekat dengan banyak orang Sāmoa disana, fokus mereka adalah pada konteks Selandia Baru. Adapun saya, saya berusaha untuk memikirkan tentang Sāmoa, Australia dan Selandia Baru, dimanapun orang-orang Sāmoa berada, untuk proyek ini. Dan kemudian, tentu saja, secara umum, memikirkan tentang semua orang. Setahun setengah terakhir ini adalah pertama kalinya saya membuat sesuatu untuk dan oleh orang Sāmoa. Biasanya saya berkarya dalam konteks yang lebih berseifat antar-budaya.
Sam: Apakah makna bekerja dalam kearsipan bagi anda?
Léuli: Proyek-proyek ini, yang saya baru sebutkan dan yang saya buat untuk AOAULI setahun lalu, saya membuat arsip karena saya tidak dapat menemukan arsip. Tidak mungkin untuk menemukan hal-hal yang telah kami buat (hanya) dengan melakukan pencarian kata “film Sāmoa” di YouTube. Kalian akan menemukan video dari produksi Pathé, rekaman yang dibuat dari zaman kolonial Inggris. Kalian akan menemukan hal-hal tersebut tentang kami, (yang) bukan dibuat oleh kami, atau apa yang dibuat oleh biro pariwisata. Jadi, kualitas arsip (yang ada) jelek dan kemudian arsip-arsip yang paling relevan untuk kami, akses terdekat yang biasanya kami dapat peroleh adalah gambar beresolusi tinggi di situs British Museum atau World Cultures Museum di Frankfurt atau Berlin, dan hanya karnya saya tahu bagaimana menelusuri sistem-sistem tersebut (sehingga) saya dapat memperoleh akses ke mereka. Dan kemudian di Australia dan di Amerika Utara, saya mampu mengunjungi (tempat-tempat penyimpanan) arsip secara langsung dan menghabiskan waktu disana dan menemukan hal-hal. Kupikir tidak banyak (material) mengenai Samoa di National Film and Sound Archive of Australia. Saya banyak melakukan pencarian (disana) berkali-kali dan saya tak dapat menemukan apapun. Ada banyak (arsip) di Selandia Baru karena mereka mengadministrasi Sāmoa Barat secara langsung untuk Kekaisaran Britania Raya. Sementara untuk di Amerika, arsip film dan suara yang sepadan di Washington adalah sarang yang samar dan orang tidak bisa menembusnya. Jadi ada pekerjaan semacam itu, tapi orang-orang yang telah membuat arsip mereka sendiri terkait dengan produksi perfilman kesemuanya masih hidup. Sangat baru, sekitar 1985 keatas.
Apa yang saya coba teorikan adalah bahwa barkcloth merupakan layar pertama dan proyeksi hanyalah kelanjutan dari praktek yang telah berlangsung selama bertahun-tahun itu. Mungkin pohon-pohon barkcloth sudah tak ada lagi, tapi kita tetap harus menjagapraktik tersebut dalam bentuk digital kedepannya supaya sebagian dari pengetahuan tersebut dapat bertahan. Supaya kita mengetahui jati diti kita.
Kupikir pokoknya adalah bahwa saya adalah bagian dari generasi yang menempuh studi PhD dan menulis buku dakam bahasa Inggris. Sepanjang abad ke-20, biasanya antropologis Eropa membuat analisis aneh-aneh tentang kami dan kemudian membuat buku-buku, yang kemudian menjadi pemahaman umum. Margaret Mead, contohnya, ibu dari ilmu antropologi, menghabiskan waktunya di Sāmoa dan membuat temuan-temuan berdasarkan seksualitas feminin dan pubertas, yang kemudian menjadi acun antropologi sepanjang abad ke-20. Tapi dimana kami disitu, karena orang-orang berbicara bahasa Inggris juga saat itu. Jadi itu seperti berusaha lulus menjadi manusia yang dapat berbicara dan didengarkan.
Sam: Margaret Mead membuat-buat itu semua?
Léuli: Orang-orang dapat menemukan apa yang mereka inginkan dengan tidak mendengarkan apa yang dikatakan orang lain. Seperti, seorang perempuan kulit putih paruh baya bertanya tentang seksualitas gadis-gadis berusia 14, 15 tahun di satu masyarakat yang sangat terkristenkan karena Kristenisasi oleh orang-orang Amerika dan Inggris, apa yang ia harap akan ia temukan? Bahkan bagi seorang Sāmoa, sulit untuk melakukan percakapan mengenai hal-hal tersebut. Jadi, bagi seorang asing ….. saya sendiri tak yakin bahwa semua itu dibuat-buat, tapi kami tak ingin hal semacam itu dikatakan untuk menggambarkan kami sekarang, dan kami tak ingin hal semacam itu dikatakan untuk menggambarkan kami saat itu. Kami bukan sekedar subyek untuk dipelajari,mungkin ada kontribusi terhadap pengetahuan dan kemanusiaan dan lainnya yang dapat diperoleh, anda tahu?
Ajaran utama dari ruang yang dijalankan seniman atau kebudayaan Asli dimana saya tumbuh besar, bahwa sepanjang anda berganti-ganti peran dan anda berkontribusi terhadap kelompok, maka segalanya akan baik-baik saja.
Sam: Apakah anda mengikuti pergerakan antropologi modern?
Léuli: Saya tidak terlibat dalam antropologi modern sama sekali, karena tidak berpikir bahwa bidang tersebut dapat diselamatkan. Bidang tersebut didasarkan pada studi orang-orang di Eropa, dan terkadang di Eropa, sebagai “yang lain”, dan ia terlalu terkait erat dengan antropologi penyelamatan, yang merupakan kenapa segala milik kami ada di Eropa dan Amerika Utara, dan kami tidak ada disana karena kami seharusnya punah. Saya telah memberikan kalian angka-angkanya, ada sekitar beberapa ratus ribu orang Sāmoa di dunia. Orang-orang telah berkembang biak, kami telah cukup berhasil! Bahkan untuk masyarakat yang cukup queer, karena ada banyak orang-orang queer dan banyak juga orang-orang Sāmoa yang tidak memiliki anak. Saya jauh lebih tertarik pada kesenian kontemporer, budaya perfilan dan disiplin ilmu yang saling bersinggungan yang lebih luas yang lebih peka akan kedudukan setiap orang. Kupikir antropologi, seperti “ilmu-ilmu klasik” sebagai suatu bidang studi, tidak perlu ada. Itu semua toh palsu.
Chris: Saya ingin bertanya tentang – dan maafkan saya jika saya mengucapkannya dengan salah – Fa’afafine, dan pendekatan masyarakat Sāmoa terhadap gender. Afifah adalah orang Bugis, yang juga memiliki pendekatan khusus terhadap gender, dengan Bissu memiliki peranan non-gender dalam masyarakat. Dapatkah anda menjelaskan sedikit tentang jenis pendekatan masyarakat Sāmoa terhadap gender?
Léuli: Seperti yang kalian lihat pada nama Zoom ku disitu, “ia” adalah satu-satunya kata ganti dalam bahasa Sāmoa. “ia” dan menjadi bentuk tunggal “he/she/they/it”. Ada banyak kecairan gender dalam peranan orang-orang, setiap peranan dapat diberikan gender, tapi gender pribadi orang-orang berubah sepanjang waktu.
Saya mengidentifikasikan diri sebagai seorang Fa’afafine, istilah yang lebih terkait dengan kefemininan dalam bahasa Inggris, dan kemudian Fa’atane atau Fa’atama terkait dengan kemaskulinan, tapi mereka tidaklah absolut. Dalam kebudayaan Sāmoa dan kebudayaan terdekat lainnya, orang-orang yang bukan merupakan laki-laki atau perempuan dalam pemahaman sempit Barat, dalam pemahaman Hollywood, adalah pustakawan, pengemudi bus, manajer bank, dan sebagainya. Satu identitas yang didasarkan pada pemisahan dari pengecualian, yang merupakan model dalam masyarakat Barat, tidaklah mungkin dalam kultur Sāmoa karena semua orang terus tinggal dalam struktur keluarga mereka, dan dalam lingkungan keluarga besar. Masih ada banyak kekerasan dari gereha, dan kemudian beberapa orang kabur dan tinggal dengan orang-orang queer lainnya. Tapi ada perempuan trans dengan anak, ada ekspresi kehidupan yang sangat pernuh. Saya tidak mengatakan itu mudah, itu hanyalah sangat berbeda dengan disini.
Kata ganti adalah hal yang besar dalam bahasa Inggris, Perancis, dan bahasa-bahasa lainnya, tapi kata ganti sama sekali bukanlah masalah dalam masyarakat Sāmoa. Gelombang baru gereja-gereja evangelis lah yang tidaj memiliki pendekatan sinkretis. Kebudayaan Sāmoa telah ada selama beribu-ribu tahun, kemudian gereja-gereja dari Eropa mengguncang dan mereka mencoba mengubah banyak hal. Kami berhenti menyembah semua dewa-dewa dari zaman dahulu, dan mereka senang akan hal itu tapi kemudian ketika kami seperti “IK, tapi kalian tidak dapat mengganggu gugat segala gender yang kami miliki” dan mereka seperti “OK, tentu saja”. Dan sekarang mereka datang dari kawasan Bible Belt di AS, mereka ingin memusnahkan semuanya. Keras sekali. Ibuku mengelola satu-satunya pusat rehabilitasi kesehatan mental di Sāmoa, dan dia menangani banyak kasus bunuh diri remaja. Itu sangatlah intens karena kupikir kebanyakan anak muda yang ingin bunuh diri adalah mereka yang kami sebut sebagai queer atau yang memiliki spektrum gender diluar laki-laki atau perempuan dalam artian cisgender[1].
Kami punya penulis, penyair, teoretikus dan seniman, Dan Taulapapa McMullin, orang Fa’afafine tertua yang saya kenal, usianya awal 60-an. Banyak orang juga merupakan pekerja seks dan wafat dari pandemi HIV/AIDS di tahun 1980-an. Ini situsnya. Saya mengutip teks yang banyak ditulisnya. Saya juga menulis beberapa teks, yang masih belum keluar, tentang bagaimana ajaran-ajaran tentang memiliki banyak jenis kelamin tersebut adalah sesuatu yang sangat langka, dan kami perlu menjaga dan melanjutkan hal tersebut karena itu merupakan bagian integral dari kebudayaan kami. Ada banyak pemikiran kasar yang berasal dari bagaimana pemikiran-pemikiran Eropa dibawa ke tempat kami. (Pemikiran-pemikiran tersebut) kemudian berhenti dipraktikkan di Eropa dan semua koloni-koloni Eropa, tapi masih terjadi di tempat kami berada, seakan-akan sekarang masih tahun 1830. Ada banyak seniman dan penyair Fa’afafine.
Bagi saya, saya tidak berpikir bahwa orang Sāmoa sepenuhnya heteroseksual. Dan pastinya ratusan tahun yang lalu, saya tidak berpikir bahwa kami adalah masyarakat monogamis. Kupikir kami memiliki hubungan poliamori yang harmonis. Semua orang di desa (bersama-sama) membesarkan anak-anak. Orang-orang dengan kedudukan yang lebih tinggi mungkin sedikit berbeda, seperti (memiliki) perkawinan yang terorganisir dan semacamnya. Tapi itu seksi! Itu selalu tropic, seolah-olah orang-orang takkan main-main dan bersenang-senang. Tapi itu sangatlah sulit karena kini ada begitu banyak tabu, tak seorang pun berbicara tentang seks sama sekali. Saya tak tahu bagaimana keadaannya untuk kalian yang tinggal di Indonesia, tapi di Sāmoa dewasa ini, ketika suhunya 30 derajat, semua orang ke pantai dengan celana panjang dan banyak orang akan berendam ke air dengan celana panjang dan baju lengan panjang untuk menutupi tubuh mereka. Ada begitu banyak rasa malu yang tertanam yang bersumber dari gereja, yang mana konyol karena, salah satunya, cuaca, dan juga karena tingkatan permasalahan kesehatan mental tersebut.
Chris: Ketika anda menyebut rasa malu yang tertanam, saya jadi teringat lagi pada pertunjukan yang anda lakukan di Sharjah. Saya baru sadar, anda melakukannya di Mparntwe juga?
Léuli: Ya, pada Oktober 2019
Chris: Setelah anda menyebut soal rasa malu yang tertanam, anda menyebutkan soal gagasan mengenai potensi perlunakan. Saya terkesan dengan kalimat tersebut dan ingin mendengar apa maksud anda dengan itu dan bagaimana perasaan anda mengenai kata “perlunakan” itu.
Léuli: Kupikir, (sebagai seseorang yang) tumbuh besar di negara bagian Queensland, saya sebagai seorang remaja benar-benar bergelut tentang akan jadi apa saya kelak. Semua pepesan di masyarakat adalah seperti “kamu harus jadi seorang pria”, “kamu harus kuat”, “kamu tak boleh menangis” dan hal-hal semacam itu. Dan saya seperti: “Tunggu sebentar. Semua orang yang kukenal, semua laki-laki dan perempuan dan orang-orang dari jenis kelamin lainnya dalam kebudayaan Sāmoa, semuanya menangis sepanjang waktu. Ekspresi emosi dan berbagai jenis emosi adalah bernilai dan normal”. Jadi saya seperti “OK, saya bisa menjadi emosional”. Kupikir semuanya kembali lagi ke peranan gender. Karena laki-laki menenun, perempuan menenun, perempuan trans juga menjaga anak-anak dan sebenarnya orang-orang kebanyakan akan belajar dari Fa’afafine bagaimana menari, lagu-lagu apa yang berasal dari desamu, dan segala jenis praktek-praktek tersebut. Kemudian para Fa’atane, lelaki trans, adalah yang memasak. Sekali lagi, ini tidaklah mutlak. Tapi kupikir saya betul-betul bergelut denagn, seperti, “Bagaimana saya bisa cocok dengan dunia (sekitar)?”. Dan kemudian ketika saya sadar bahwa saya tidak mesti hanya memanfaatkan apa yang tersedia bagi saya di Australia, tapi juga bahwa saya memiliki budaya ini dan lensa tersebut untuk melakukan pengamatan, saya seperti, OK, baik, kita bisa benar-benar bersentuhan dengan teman-teman kita, contohnya (sepanjang itu konsensual). Itulah hal utama bagi saya, rentang emosi yang bisa kalian ekspresikan. Apa artinya bagi kalian?
Chris: Saya berpikiran sama. Saya pikir saya masih merasa sangat keras dan beringsutan. Saya ingin melunak, tapi itu proses yang sulit.
Léuli: Dan kita berada dalam masyarakat yang brutal, jadi ia tidak benar-benar memungkinkan kita untuk melunak
Chris: Ayahku orang Polandia, (ia) kabur (dari rezim) komunis Polandia, dsb. Mereka orang-orang yang sangat keras, (dan) saya bisa dikatakan mewarisi (sikap) itu juga. Itu konsep yang sangat saya suka.
Léuli [01:17:41] Adalah harapan untuk keluargaku dan kebudayaanku untuk menjadi lebih sehat. Sepupuku memukul istri-istri mereka sepanjang waktu karena menyelingkuhi mereka sementara mereka sendiri juga berselingkuh! Itu satu contoh ekstrim dari kekerasan ternormalisasi yang terjadi sepanjang waktu. Saya tidak bisa berbuat banyak karena saya tinggal disini (Australia). Saya tidak berada disana sepanjang waktu untuk dapat (mengatakan hal) seperti “kalian seharusnya tidak melakukan hal semacam ini”. Kekerasan di desa-desa sangatlah tinggi. Sepupuku kabur dengan anak-anaknya ke rumah orangtuanya di akhir pecan. Sang suami sangatlah mabuk dan dia membawa parang dan merusak laptop anak yang tertua. Usianya 12 tahun, hampir menyelesaikan SMU. Jadi ayahku berusaha menemukan laptop di seluruh penjuru kepulauan supaya ia dapat menyelesaikan sekolahnya. Kupikir saya memiliki keunggulan tertentu dari tidak memiliki anak. Saya tak tahu apa saya bisa menyebutnya keunggulan, tapi saya punya ruang dan waktu untuk berpikir tentang apa yang salah pada budaya saya dan apa yang salah pada kebudayaan Australia, dan kemudian yang mana yang mungkin benar. Jika saya tinggal di Sāmoa, saya mungkin akan punya anak pada usia 16 tahun. Apapun jenis kelamin saya, orang-orang memiliki anak, kalian tahu, dan semua orang tertawa pada kondom dan hal-hal semacam itu, tapi ada sesuatu yang lain. Kupikir perlunakan itu seperti suatu kata lain untuk lebih banyak cinta.
Sam: Bisakah anda menceritakan sedikit pada kami apa yang anda maksud dengan kemasadepanan masyarakat Asli?
Léuli: Saya pertama kali menemukan istilah “kemasadepanan” dalam teks yang dibuat oleh akademikus Hawai’I Noelani Goodyear-Kaʻōpua dan Bryan Kamaoli Kuwada ini. Itu adalah satu keseluruhan mode pemahaman dimana oramg-orang dapat memproyeksikan diri mereka sendiri. Dalam bahasa Inggris, ada masa depan, yang singular dan berasal dari masa kini dan masa lalu, kita berpikir seolah-olah kita berada dalam satu garis waktu yang berjalan segaris. Tapi untuk banyak kebudayaan di seluruh dunia, waktu bersifat elstis. Saya selalu terlambat, contohnya. Itu pada dasarnya memikirkan tentang dimana kita bisa berada. Seperti yang kukatakan sebelumnya, kata-kata untuk pagi dan esok adalah kata yang sama dalam bahasa Sāmoa, jadi ada banyak konsepsi dimana waktu dapat berulang, dimana orang-orang dapat memulai kembali. Orang-orang zaman sekarang diatur oleh calendar Gregorian dan waktu Barat. Salah satu akademikus Sāmoa yang paling menakjubkan, Toeolesulusulu Damon Salesa, seorang sejarawan, berkata bahwa berdasarkan risetnya, kami berubah dari hidup berdasarkan kalender bulan menurut (perhitungan fase) bulan dan karang dan lain-lain ke kalender Barat, kalender matahari dalam satu tahun kalender. Transisinya sangatlah cepat. Di saat yang sama, sejumlah besar orang menjadi sekarat karena penyakit (yang dibawa oleh) orang Eropa dan hal-hal lain yang terjadi.
Ada satu bangun penuh karya seni dan teori oleh masyarakat Asli dari Australia, Taiwan, dan dari Amerika Utrra terkhususnya, Grace Dillon dan Jason Lewis, yang merupakan bosku di Montreal, contohnya. Lihatlah pada Indigenous Futures. Kumpulan peneliti, seniman Asli, teoretikus, pembuat dan desainer ini sedang mengerjakannya. Mereka telah menciptakan sejumlah protocol budaya yang berlaku pada banyak bangsa-bangsa Asli yang berbeda seputar kecerdasan buatan. Seperti, bagaimana memikirkan kecerdasan buatan sebagai anggotajaringan kerabat anda ketimbang sebagai seorang budak, untuk dipergunakan dan dieksploitasi, cukup begitu di luar sana. Banyak asumsi di internet atau di dalam teknologi kini (dibuat) oleh penutur monolingual bahasa Inggris, para pria dari kelas menengah atas atau kaum kaya di AS. Jadi, jenis nilai-nilai macam adpa yang sesungguhnya dapat diterapkan pada umat manusia lainnya?
Hal utama lainnya dengan futurisme dan kemasadepanan Masyarakat Asli adalah bahwa kehancuran iklim (dewasa) ini bukanlah kehancuran pertama bagi banyak orang pibumi di seluruh dunia. Ini yang kedua atau ketiga, tergantung berapa banyak pembantaian dan peristiwa kematian massal yang telah terjadi. Pada tahun 1918, contohnya, dalam konteks Sāmoa, lebih dari 1/5 populasi meninggal akibat wabah flu Spanyol yang sengaja ditularkan oleh administrasi colonial Selandia Baru karena ada banyak protes terhadap kekuasaan Selandia Baru. Berapa banyak pengetahuan yang hilang, berapa banyak tarian, pendongeng yang hilang. Itulah yang kami paling ketahui yang paling terkini, tapi pastinya ada yang lainnya juga pada tahun 1820-30an ketika para pemburu paus dan lainnya datang (ke Sāmoa).
Itulah inti dari semua karya-karya seni yang telah saya kerjakan tersebut, agar taka da kekerassan. Itulah apa yang saya maksud dengan keistimewaan, seperti seseorang dapat mememiliki waktu untuk berpikir tentang ketika tidak ada kekerasan, mungkin bahkan tidak membayangkan meningkatnya ketinggian air (laut), tapi membanyangkan bahwa (ketinggian) air (laut) akan menurun sedikit dan pulau-pulau kami akan aman. Coba bayangkan dunia yang tidak diatur oleh pertarungan natara AS dengan Cina, dan Rusia. Bagaimana dengan yang lain? Ada banyak orang-orang lain di planet ini, ddan tak satupun dari kami yang dapat angkat bicara. Saya akan mengirimkan kalian lebih bnayak teks mengenai subyek ini.
Sam: Terima kasih. Itu akan sangat menarik. Saya betul-betul ingin mendengar tentang pemikiran anda mengenai hubungan seniman-kurator yang ideal dan bagaimana hubungan tersebut berkembang selama bertahun-tahun anda berpraktek dan mengkurasi dan mencipta dan melakukan tukar pikiran. Apakah ada pesan atau saran yang mungkin anda miliki untuk para seniman dan kurator baru?
Léuli: Saya menulis teks ini sekitar setahun lalu. Saya adalah produk dari rusg syng dijalankan oleh para seniman masyarakat Asli internasional lintas budaya di Brunswick, Melbourne yang bernama Blak Dot Gallery, diamna beragam generasi seniman dan curator dan berbagai orang dan anggota masyarakat lainnya telah ada sejak 2011, dan berlanjut sampai sekarang. Saya dulu bekerja di bagian administrasi di universitas, dan kemudian orang-orang berkata pada saya “Apa mungkin kamu ingin membuat karya seni?” dan saya seperti “Sejujurnya, saya selalu ingin membiuat karya seni.” Jadi, saya dibimbing ke sana.
Saya pikir adalah hal yang paling sehat ketika seseorang memiliki banyak posisi seperti kalian semua. Mimpi terburuk saya adalah menjadi seniman penuh waktu. Karena kupikir (dengan begitu) seseorang dapat menjadi begitu egois dan pelupa. Saya telah menyaksikannya pada beberapa kawan yang menjadi seniman penuh waktu. Bahkan jikalau anda seorang seniman dan semua yang anda lakukan adalah membuat karya seni, tapi kemudian anda juga memiliki semacam peran advokasi. Anda memiliki sesuatu dimana anda memikirkan tentang orang lain pertama-tama, itulah yang kupikir merupakan ajaran utama dari ruang yang dijalankan seniman atau kebudayaan asli dimana saya tumbuh besar, bahwa sepanjang anda berganti-ganti peran dan anda berkontribusi terhadap kelompok, maka segalanya akan baik-baik saja. Tentu saja, dialog dan hubungan yang erat adalah yang paling sehat. Beberapa seniman yang saya bekerja sama dengan saya tahun ini dan tahun lalu telah bekerja sama dengan saya selama 10 tahun, begitu pula dengan beberapa kurator yang bekerja sama dengans aya ketika saya menjadi seorang seniman. Itu bukanlah nepotisme ketika itu adalah suatu komunitas, tapi bahwa itu bisa datang dan pergi.
Chris: Saya ingin terkhususnya berbicara banyak tentang hubungan anda dengan Mparntwe, apa yang menuntunmu kesini, dan apakah kegiatan aristik atau kuratorial utama anda disini?
Léuli: Saya mengikuti pasangan saya disana, yang merupakan seorang dokter. Dia harus tinggal selama enam bulan disana, dan kemudian kami akan pergi untuk tinggal di Caims. Saya seharusnya tinggal di Montreal, jadi saya tidak semestinya tinggal di Wilayah Utara sama sekali. Dan kemudian saya tinggal di Darwin, tinggal di Arnhem Land dan kemudian di Mparntwe (Alice Springs). Ini bukanlah pilihan saya, saya mengikuti pilihan pasangan saya karena saya merupakan seorang pekerja lepas dan saya tidak memiliki banyak pekerjaan. Kemudian ketika saya berada di Mparntwe keadaannya sama dengan disini, dimana saya bekerja dari rumah. Saya punya pertemuan di sebuah kafe beberapa jam lalu, tapi itu sangatlah jarang. Semua pertemuan saya dilakukan di Zoom.
Saya memiliki pengalaman yang menarik di Mparntwe karena saya tidak bekerja di pusat kesenian Aborigin, dan saya tidak bekerja secara resmi di infrastruktur seni kota manapun.cjadi, saya memiliki posisi yang menarik untuk melihat pada dinamika yang terjadi disana. Saya berbicara dalam sebauh panel pada ruang pusat yang dikelola oleh para seniman, Watch This Space, dan saya semestinya ada disana dua minggu alu untuk menjalankan selumlah sesi untuk festival penulis yang dibatalkan. Tahun ini, saya merasa saya memasuki jenis hubungan kreatif yang betul-betul saya ingin miliki. Saya bekerja dengan Jonny Rowden untuk memfilmkan sebuah kuliah pertunjukan untuk Hawaiʻi Contemporary Art Summit, yang diselenggarakn pada bulan Februari. Pemfilmannya dilakukan di tempat yang sama dengan tempat dimana saya memfilmkan karya seni AOAULI.
Saya pikir saya telah menjadi seorang penyair sejak tinggal di Mparntwe, hal tersebut merupakan dampak terbesar bagi saya secara kreatif. Dan kemudian saya berbicara kepada Kelly-Lee Hickey tentang perlunya untun mengumpulkan koleksi queer gurun dan Top End, atau semacam itu. Saya membuat sebuah karya seni untuk satu majalah seni yang berbasis di Adelaide yang bernama Fine Print, dan mereka mengundangku dan sejumlah orang lain untuk memberi tanggapan pada arsip. Ini karya yang kubuat. Saya membaca seluruh arsip mereka dari awal. Saya pikir itu adalah kumpulan kritik-kritik online dan surat-surat dan lainnya selama 5 atau 10 tahun, dan ia dimulai dari seorang pria kulit putih tua, sejarawan seni, dan sekarang jauh lebih beragam dan kompleks. Bukab bahwa tulisan para pria (kulit putih tua) tersebut tidaklah kompleks, tapi mereka membosankan dan merupakan apa yang kami miliki di Australia untuk waktu yang lama. Jadi ini sebenarnya dibumbui dengan kata-kata atau konsepr yang saya peroleh dari arsip majalah tersebut, ditambah dengan refleksi saya atas dua tempat ini: Simpsons Gap (Rngutjirpa) dan Ormistion Gorge (Kwartatuma), di barat Mparntwe bagi kalian yang belum pernah kesana. Tempat-tempat yang Chris dan saya dan kawan-kawan akan sering kunjungi. Saya banyak memikirkan tentang geologi dan waktu dalam, dan bahwa banyak dari lanskap ini adalah ppegunungan yang berusia sekitar 400 juta tahun yang dahulu memiliki ketinggian yang sama seperti Himalaya. Saya berusaha berpikir tentang skala dan betapa istimewanya untuk berjalan di tempat-tempat tersebut dan juga bertanya-tanya apa yang akan terjadi di masa depan pada tempat-tempat dimana saya berasal dalam kaitannya dengan tempat-tempat ersebut yang telah bertahan sangat lama.
Tentu saja, pembelajaran tak pernah usai, dan saya merasa seperti memiliki lebih banyak bab di Mparntwe untuk dijalani dalam hidup saya. Kita mesti melihat apa yang akan terjadi di masa depan. Saya tidak pergi karena saya ingin, saya pergi karena pekerjaan pasanganku membawa kami kesini ke nipaluna (Hobart). Yang mana juga bagus dengan sejarah yang sangat berbeda tapi di saat yang sama juga serupa.
Chris: Pekerjaan yang sedang kami kerjakan ini juga terletak pada konteks kultural yang sangat spesifik dan warisan yang sangat spesifik pada CAAMA di Mparntwe. Mempertimbangkan karya yang kami buat berdasarkan arsip video Toraja, saya merasakan semacam perasaan yang tidak nyaman, tapi juga kegembiraan di saat yang sama bahwa arsip CAAMA akan terletak 50 meter di pameran, sumber daya pengetahuan dan sejarah yang mengagumkan ini yang sedang dalam perjalanan keluar karena format yang dipertahankannya.
Léuli: Dan tak ada pendanaan untuk melakukan digitalisasi, bukan? Saya tinggal di Nhulunbuy dan saya bekerja pada Artlink. Setiap tahun, majalah yang berbasis di Adelaide bernama Artlink ini sejak 2010 mengundang tamu untuk mengedit edisi kesenian oleh Masyarakat Asli dan mereka tentunya memiliki kesenian oleh Masyarakat Asli sepanjang tahun. Tapi yang ini adalah edisi kedua yang bersifat global. Edisi global pertama adalah di tahun 2015, dan saya menulis sebuah esai untuk itu. Dan kemudian yang ini tahun lalu, pada Juni 2020. Teman baik saya, Kimberley Moulton, seorang curator Yorta Yorta dan sejarawan seni di Melbourne, dan saya sendiri mengedit edisi tersebut.
Pada saat edisi tersebut diterbitkan, saya tinggal tepat bersebelahan dengan komunitas dimana seniman yang ditampilkan di sampul edisi tersebut, Nonggirrnga Marawili bekerja. Dia seorang seniman senior di Yirrkala. Pusat kesenian disana memberikan dukungan yang sangat menakjubkan bagi banyak pelukis dan pematung bintang, tapi mereka juga memiliki pusat media yang luar biasa, yang berbeda dengan tempat-tempat lainnya yang pernah saya kunjungi di Pasifik, di Samudera Besar. Seluruh arsip mereka, semua yang para antropologis pernah buat tentang mereka juga terdapat dalam server tersebut, semua yang orang-orang buat dalam komunitas tersebut juga ada disana. Film yang dibuat seseorang dan jika mereka prig ke VCA, contohnya, juga aka nada disana. Ada begitu banyak disana, dan mereka bekerja keras untuk membangun infrastruktur tersebut. Tapi itulah apa yang saya impikan dapat kita miliki, satu tempat dimana orang-orang dapat kunjungi dan melihat semuanya. Idealnya, itu akan untuk seluruh kebudayaan di kawasan (Oseania), tapi ada begitu banyak kebudayaan di (kawasan) Pasifik sehingga saya tidak tahu dari mana harus memulai, jadi saya memulai dari kampung halaman. Dan saya kemudian meyakinkan orangtua saya agar kami membangun sebuah arsip besar di tanah tersebut dan kemudian semua orang bisa datang dan mempergunakannya.
Chris: Ada satu baris tertentu pada laporan signifikansi arsip CAAMA yang menarik perhatian saya. Begini tulisannya: “Aapabila kita hidup dalam sebuah dinia dimana suara orang-orang Aborigin dihormati secara setara dengan suara para etnografer pria kulit putih, kelangsungan arsip CAAMA akan terjamin.” Dengan mempertimbangkan pernyataan tersebut, bagaimana anda memengaruhi lembaga-lembaga pemerintah untuk memberi prioritas pada digitalisasi dan menjaga tetap hidup arsip-arsip yang dibuat dan dikontrol oleh masyarakat Asli ini?
Léuli: Pertanyaan utama saya kepada kalian adalah, apakah kalian sudah berusaha mendapatkan pendanaan dari Eropa? Abaikan sepenuhnya pemerintah Australia. Kalian bisa lihat bahwa mereka tidak tertarik dengan masyarakat dan praktek kebudayaan Aborigin. Semua yang dilakukan di Vanuatu didanai oleh Perancis. Semua yang dilakukan di Sāmoa didanai oleh pihak-pihak di Eropa atau Uni Eropa. Saya tidak berkata bahwa inilah jawabannya. Tapi ini masalah kritis dengan arsip ini dan mungkin Prince Claus Fund, atau Mondriaan Fund atau yang lainnya di Eropa akan lebih terbuka. Dan terutama organisasi ini, Nia Tero Foundation, mereka turut mendanai proyek pameran yang saya produksi untuk imagineNATIVE. Sebenarnya, kupikir kalian harus berbicara dengan imagineNATIVE. Temanku adalah direktur artistiknya. Saya bisa menghubungkan kalian karena arsip tersebut perlu dijaga.
Saya rasa sudah saatnya untuk memanggil semua sekutu di dunia, dan tidak ada orang-orang yang meyakinkan di Canberra yang peduli. Mereka tak bisa dilunakkan, mereka tak peduli. Mereka tak peduli, mereka terlalu mementingkan diri sendiri. Mereka tidak perduli dengan kita dan dengan siapapun. Begitulah kelas politik di dunia sekarang ini. Empati harus datang dari orang-orang yang peduli. Itu sebabnya saya melakukan proyek di Kanada untuk orang-orang Sāmoa. Ada sekitar 10 orang Sāmoa yang tinggal di Kanada. Salah satunya adalah bos saya, tapi konteksnya terbuka untuk itu karena itu adalah satu festival seni media dan kesenian Masyarakt Asli internasional. Tentu saja mereka peduli pada arsip, mereka peduli dengan para penulis naskah, produser, dll generasi berikut.
Hal lain yang saya belum katakana adalah saudara laki-laki saya. Saudara tengah saya mempelajari perfilman di Bond University. Dia sedang mengerjakan naskah film pertamanua, tapi dia bekerja sebagai manajer likasi untuk sejumlah produksi film AS di Queensland. Bidang saya adalah mengusahakan pegarsipan dan memikirkan bagaimana kita menuliiskan sejarah perfilman, dan bidangnya adalah pembuatan film sesungguhnya. Saya hanya membuat video sesekali.
Chris: Baiklah, kami tak ingin menahan anda cukup lama. Tampaknya anda punya cukup banyak kegiatan di akhir pekan!
Léuli: Senang telah berjumpa dan berbicara dengan kalian semua.
Sam: Terima kasih banyak atas waktunya. Kami sangat berterimakasih.