Dirk Sandarupa adalah seorang mahasiswa doktoral di bidang Antropolinguistik. Selama studinya, Dirk telah mengkaji penelitian tentang budaya dan bahasa di Toraja, salah satunya mengenai tingkatan dalam bahasa Toraja dan ritual pesung. Selain penelitian tentang budaya Toraja, ia juga turut aktif dalam menulis jurnal nasional dan internasional. Jurnal terbarunya berjudul Toraja, the city of rituals, dan telah berkolaborasi dengan jurnal internasional bersama seorang dosen pengajar luar, Professor Kathleen Adams, yang dipublikasikan Asian Journal Tourism. Jurnal kolaboratif ini terpilih untuk menjadi bagian dari buku Tourism Microentrepreneurship. Selama hidupnya, Dirk juga aktif dalam menulis puisi dalam Bahasa Inggris. Karya-karya puisi nya telah diterbitkan oleh Spill Words Press New York, jurnal Advaitam Speak, dan majalah The Local Train. Dirk saat ini aktif sebagai pengusaha dan dosen pengajar di Sulawesi. Kedepannya ia berharap dapat terus bekerja dan berkolaborasi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang bangsa. Moto Dirk adalah, ilmu tidak akan pernah luntur selama kita terus menerus membuat karya-karya berdasarkan kemampuan kita masing-masing. Jika kita percaya dengan kemampuan yang diberikan, maka kita akan terus berkembang.
Kami pertama kali mengetahui tentang Dirk ketika bersiap-siap untuk melakukan perjalanan ke Toraja pada 2019. Kami menemukan karya ayahnya, Stanislaus Sandarupa, seorang antropolog terkenal dan ahli dalam Toraja, wilayah asalnya. Sayangnya Stanislaus meninggal pada tahun 2016, namun Dirk telah mengikuti jejak ayahnya dan menekuni studi linguistik dan antropologi yang berfokus pada Toraja. Kami beruntung untuk kemudian bertemu dengan Dirk di Makassar pada akhir kunjungan kami, dan interaksi kami berjalan dengan sangat baik. Sebagai sesama anak muda, kami menyadari bahwa Dirk memahami keingintahuan dan pertanyaan-pertanyaan kami, dia juga sangat murah hati dan terbuka dengan informasi dan bantuan.
Untuk proyek Sipakatuo, sangatlah penting bagi kami untuk mengunjungi kembali pertanyaan-pertanyaan meluas terkait struktur dan sistem sosial Toraja; kami berharap dapat mendapatkan pemahaman yang lebih menyeluruh tentang bagaimana DSTV dan praktik mereka berada di dalamnya. Setelah baru saja menyelesaikan studi doktoral nya di bidang Antropolinguistik, bagi kami Dirk adalah orang yang tepat untuk membantu sebagian dari pertanyaan-pertanyaan kami.
Pada percakapan kami, Dirk menggarisbawahi keberagaman dalam praktik budaya Toraja, serta kecenderungan wartawan luar, pembuat film dsb., menggeneralisasi ritual dan upacara di Toraja. Dirk mengingatkan kami bahwa sangatlah penting untuk spesifik tentang konteks ketika merujuk atau merepresentasikan ritual, upacara ataupun bahasa, karena tidak hanya spesifik bagi setiap daerah di Toraja, namun juga terus berkembang, seperti banyak budaya di penjuru dunia. Ia juga menegaskan tentang stratifikasi budaya Toraja dan perannya dalam dinamika sosial, baik publik maupun privat.
Terima kasih banyak Dirk, telah berbagi pengetahuan anda. Kami tidak sabar untuk bertemu lagi secepatnya!
Sam: Halo Dirk, terima kasih sudah bergabung dengan kami. Boleh ceritakan sedikit tentang diri, keluarga, dan hubungan anda dengan Toraja?
Dirk: Nama saya Dirk Sandarupa. bapak dan Ibu saya datang dari Toraja. Saya sedang menjalani program S3 di Universitas Hasanuddin. Saat ini, saya tertarik pada bidang Antropologi dan Linguistik. Penelitian saya membahas tentang praktik ritual Toraja. Pada tahun 2015, bapak saya mendapat julukan Juru Kunci Toraja. Bapak saya adalah peneliti, dosen, dan filsuf. Sepanjang hidupnya, beliau berfokus pada Toraja--Utara dan Selatan. Ia bahkan sempat pergi ke Mamasa, yang berada di Toraja Barat
Sam: Boleh ceritakan sedikit tentang penelitian dan fokus studi anda? Mungkin ide pokok, tema, atau isi penelitian anda?
Dirk: Saya meneliti Toraja sejak masih di jenjang S1. Di S3, saya ingin membawa penelitian saya ke tingkat yang lebih tinggi melalui Linguistik Antropologi. Penelitian yang sedang saya lakukan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Kali ini saya mengkaji Ritual Padi. Saya membandingkan dua daerah; Aluk Tambunan di Toraja Utara dan Balik di Toraja Selatan.
Sam: Boleh ceritakan sedikit tentang Ritual Padi ini? Apa signifikansi dari Ritual Padi? Bagaimana prosesnya dan apa perbedaan Ritual Padi di Balik dan Aluk Tambunan?
Dirk: Penelitian terbaru saya adalah mengenai Ritual Padi di Tambunan, Toraja Utara dan di Balik, Toraja Selatan. Umumnya untuk daerah Toraja, setiap daerah menyebut, contohnya di Tambunan kita sebut Aluk Tambunan dan di Balik disebut Aluk Balik. Aluk artinya kepercayaan. Yang saya anggap menarik dari budaya Toraja bahwa Ritual Padi, contohnya satu konsep ini, bahwa setiap masing-masing daerah memiliki kepercayaan dan keyakinan masing-masing terhadap Ritual Padi. Jadi itu yang membuat Toraja susah untuk dipersatukan selama ini. Di tahun 2015, bapak saya mencoba untuk memasukkan budaya Toraja ke daftar warisan budaya dunia, tapi tidak memungkinkan karena adanya perbedaan-perbedaan dari setiap daerah dan setiap kota. Maka, secara garis besar, Toraja Utara dan Toraja Selatan itu berbeda. Dan kalau kita hanya memiliki satu kota saja, setiap daerah itu memiliki keyakinan dan kepercayaannya masing-masing. Itulah yang saya temukan selama penelitian. Dari segi ritualnya saja, contohnya di daerah Tambunan, mereka memiliki tata cara yang berbeda dan begitu pula di Balik. Ritual Padi ini pada dasarnya mengenai pengorbanan. Dan selain dari itu, ritual ini berfokus kepada doa-doa permintaan dan persembahan dewa juga nenek moyang. Demikian pula dengan ritual Ma'nene, yang kadang kita baca di koran dan situs online, bahwa di setiap daerah itu berbeda dan bukan hanya atas satu makna saja. Itulah yang saat ini agak rumit. Dalam hal ini, menyatukan mereka sebagai satu agama dan satu filosofi. Dan Ritual Padi juga bukan hanya pada dewa-dewa namun juga pada filosofi dan kepercayaan.
Kalau kita berbicara mengenai budaya Toraja, kita berbicara mengenai suku, kepercayaan, filosofi, agama dan strata sosial.
Afifah: Pertanyaan saya mungkin lebih spesifik ke Aluk To Dolo [Cara hidup leluhur, sistem kepercayaan asli Toraja]. Saya dan Sam ingin tahu lebih banyak soal Aluk Sanda Saratu' dan Aluk Sanda Pitunna. Saya tahu sedikit tentang kedua kepercayaan utama ini. Boleh tolong jelaskan tentang kedua ajaran ini, Aluk To Dolo dan bagaimana mereka telah berkembang, serta bagaimana konsep kematian tertanam di dalam kepercayaan ini?
Dirk: Aluk memiliki arti kepercayaan atau agama. Pada dasarnya semua Aluk itu sama di Toraja. Kepercayaan ini menyembah yang dinamakan Puang Matua, yang paling tertinggi di atas, yang kedua itu Dewa, dan ketiga itu nenek moyang. Baik di Toraja Selatan ataupun di Toraja Barat, Aluk itu sama. Tetapi yang membedakan setiap daerah adalah kisah-kisah nenek moyang mereka. Contohnya, Aluk Tambunan yang memiliki nenek moyangnya tersendiri, sedangkan Balik juga mempunyai nenek moyangnya tersendiri, tetapi garis besarnya Aluk memiliki makna yang sama dan mereka memeluk Puang Matua seperti agama Kristen terhadap Bapa. Kemudian ada pula dewa-dewa. Kalau berdasarkan filosofi, yang saya pahami sebagai filosofi paling kental di Toraja adalah Tallu Lolona yang terdiri atas tiga.
Sam: Anda sedang membahas sejarah dan filsafat Aluk To Dolo. Betul?
Dirk: Betul. Tapi saat kita berbicara tentang sejarah dan filsafat di balik Aluk, saya rasa keduanya adalah hal yang berbeda.
Sam: Kalau begitu, boleh coba jelaskan keduanya secara terpisah?
Dirk: Ya. Ini adalah presentasi saya mengenai Masyarakat Sosial Antropologi Budaya Pada Suku Toraja Saya akan cerita tentang almarhum Stanislaus Sandarupa, karena ia adalah kunci budaya toraja, dia selalu mengatakan bahwa "don't die before you go to Toraja". Istilah ini untuk memikat agar turis, dari manapun asal mereka, untuk dapat datang dan melihat Toraja.
Apa itu Toraja? Toraja adalah daerah pegunungan yang dikelilingi oleh pohon bambu, pohon pinus, kebon kopi, dan tanaman tropis lainnya. Toraja sendiri adalah warisan tempat leluhur yang terkenal akan keragaman bahasa dan keunikan budayanya. Kedua hal tersebut sering menjadi daya tarik bagi para wisatawan dan para peneliti untuk mengunjungi Toraja. Toraja terbagi atas tiga wilayah: Toraja Utara, Toraja Selatan, dan Toraja Barat.
Untuk mengenal masyarakat, agama, dan filosofi kita perlu untuk mengenal lebih dekat. Masyarakat Toraja pada dasarnya bersifat hirarkis yang dimana golongan seperti strata sosialnya terbagi atas empat di Toraja, yaitu: kelas atas (tana' bulaan), kelas menengah (tana bassi), kelas bawah (tana'karurung) serta kelas hamba (tana' kua-kua). Namun kelas-kelas ini sudah memudar dan hanya tersisa tiga yaitu kelas atas, menengah dan bawah. Namun *** ini sepertinya sudah memudar karena strata ini kurang begitu dipahami masyarakat Toraja itu sendiri. Bisa dilihat dari Rambu Solo yang dimana seharusnya kelas menengah tidak harus menerapkan cara kelas atas tapi mereka tetap menerapkan cara kelas atas. Jadi makna pemahaman ini sudah mulai memudar. Yang kedua adalah masyarakat Toraja pada umumnya terbagi atas empat agama, yaitu: Alukta/Hindu, Kristen, Katolik dan Muslim pun sudah ada. Masyarakat dari jaman dahulu hingga saat ini masih memeluk kepercayaan Aluk to Dolo. Masyarakat Toraja juga memiliki filosofi yang sangat kuat yang hingga saat ini mereka pegang, yang masih ada jika kita kesana dan akan sering mendengar, yaitu Tallu lolona yang artinya Tiga Pucuk Kehidupan.
Ini adalah salah satu contoh Ritual Padi. Kita tahu orang Muslim punya ’Burasa’, tapi Toraja juga punya produk beras lain yang orang-orang belum tahu dan merupakan aspek budaya di sini.
Ini adalah ritual Ma' Tada, tetap dalam lingkaran Ritual Padi, mereka ingin menyajikan beras kepada dewa-dewa dan nenek moyang.
Sedangkan ini adalah To’Mina, yang dalam bahasa Toraja berarti 'pemangku adat' ini juga dinamakan menamu ritual yang berfokus kepada dewa-dewa dan yang mengorbankan hewan babi.
Mengenai filosofi Toraja sendiri, pada sistem pemerintahan jaman dahulu orang Toraja menganut filsafat yang disebut Tallu Lolona. Tallu Lolona itu sendiri adalah kepercayaan leluhur bagi orang-orang Toraja demi kelangsungan hidup mereka. Filosofi ini masih dipegang kuat hingga saat ini. Kalau kita mendengar doa-do--baik itu di ritual Rambu Solo ataupun Rambu Tuka, pasti mereka menyebut filosofi Tallu Lolona karena ini adalah kepercayaan dasar yang paling kuat selain agamanya. Tallu Lolona sendiri dikenal sebagai istilah tiga pucuk kehidupan, yaitu Lolo Tau (pucuk kehidupan manusia), Lolo Paluan (pucuk kehidupan hewan), dan Lolo Tananan (pucuk kehidupan tanaman).
Kita mulai dari Lolo Tau, pucuk ini bermakna kehidupan manusia. Lolo yang berarti pusar manusia merupakan pusat sumber atau pusat hidup. Orang Toraja meyakini bahwa ketika seorang bayi lahir orang tua harus mampu mengembangkan anaknya dengan baik, seorang anak yang berperasaan dan dapat berfikir untuk menentukan mana yang baik dan mana yang salah, ini yang sangat ditekankan dalam masyarakat Toraja. Namun nampaknya Lolo Tau ini sudah sudah memudar, tetapi di daerah-daerah terpencil filosofi konsep ini masih diterapkan di kehidupan sehari-hari. Dalam budaya Toraja, bayi yang baru lahir harus diupacarakan terlebih dahulu melalui ritual memotong rambut, dan taha selanjutnya adalah Alukna Ma Rampanan Kapa dimana ketika anak sudah dewasa ia harus kawin, dan Alukna To Ma Karandangkalua ketika anak diharuskan untuk mencari rezeki, dan ketika anak telah melalui ketiga tahap tersebut ia dinyatakan berada di fase tertinggi sebagai manusia.
Kemudian Lolo Patuoan. Sama halnya dengan manusia, hewan juga penting bagi masyarakat Toraja. Hewan-hewan tersebut yakni kerbau, babi, ayam, serta anjing. Namun, yang paling sering diritualkan adalah kerbau dan babi. Masyarakat Toraja percaya bahwa hewan harus dilindungi, dipelihara, dan nantinya akan diritualkan. Kalau kita ke Toraja, hewan-hewan tersebut sangat dipelihara dengan baik, meskipun ada yang masih memakan anjing di Toraja.
Tongkonan dikenal sebagai tempat hunian yang mengandung fungsi dan makna filosofi Toraja yakni sebagai tempat dalam melaksanakan upacara-upacara yang berkaitan dengan sistem kepercayaan dan tempat bermusyawarah.
Berikutnya adalah Lolo Tananan. Selain kedua hal tersebut, tanaman juga sangat penting bagi Masyarakat Toraja. Seperti yang banyak tahu, tanaman-tanaman yang paling terkenal di Toraja antara lain markisa, kopi, dan coklat. Dalam hal ini, tanaman-tanaman tersebut, baik dia padi, kopi, atau coklat mereka tidak hanya sekedar menanam mereka juga meritualkan tanaman-tanaman tersebut karena diyakini bahwa dewa akan menjaga tanaman tersebut sehingga ia dapat tumbuh dengan baik.
Kalau kita berbicara tentang bahasanya sendiri, Toraja mempunyai bahasa tingkat kelas atas, menengah, dan bawah. Bagi masyarakat Toraja bahasa adalah sebuah identitas budaya. Jadi ketika mengunjungi Toraja, kita perlu memperhatikan tutur kata, seperti penggunaaan kata: Kamu, Ko, Ki, dan sebagainya.
Kalau kita berbicara mengenai budaya Toraja, kita berbicara mengenai suku, kepercayaan, filosofi, agama dan strata sosial.
Yang belum saya jelaskan tadi adalah tongkonan dan Alang, keduanya adalah satuan yang dapat terpisahkan.
Tongkonan dikenal sebagai tempat hunian yang mengandung fungsi dan makna filosofi Toraja yakni sebagai tempat dalam melaksanakan upacara-upacara yang berkaitan dengan sistem kepercayaan dan tempat bermusyawarah. Setiap orang Toraja harus memiliki Tongkonan. Jaman dahulu, Tongkonan adalah rumah dasar yang berbentuk seperti perahu dan dibangun berdasarkan status sosialnya. Jadi Tongkonan bukan hanya sekedar rumah tapi dibangun berdasarkan strata sosial. Tongkonan kelas bangsawan biasanya diukir dengan gambar ayam atau kepala kerbau, itu yang membedakan tongkonan-tongkonan di Toraja. Kepala kerbau pada tongkonan menggambarkan bahwa, pemilik rumah telah mengorbankan banyak kerbau dan menandakan bahwa dirinya berasal dari kelas bangsawan.
Berikutnya adalah Alang atau Lembah Lembah. Selain Tongkonan, Alang harus terletak di samping rumah mereka yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi, tempat menjamu tamu, atau tempat diadakannya upacara-upacara ritual.
Sampai sekarang inipun masyarakat Toraja masih memakai Alang untuk ketiga fungsi tersebut. Yang tadi (pada slide) adalah Alang tradisional dan yang ini (pada slide) adalah Alang modern.
Berdasarkan jumlah persennya, agama Alukta hanya ada sekitar 6% di Toraja, Kristen Protestan lebih banyak, berikutnya adalah Kristen Katolik, dan kemudian Muslim yang sudah mulai bermunculan.
Jadi menurut orang dahulu, agama dan kepercayaan itu tidak bisa dipisahkan namun di era modern ini agama dan kepercayaan dianggap terpisah. Itu yang menjadi kontradiksi orang-orang Aluk To Dolo dan orang-oran* saat ini. Sebenarnya dalam budaya Toraja, kita tidak boleh melepaskan agama, atau yang disebut alukta, dengan kepercayaan dalam melaksanakan ritual. Namun yang membedakan saat ini, orang-orang melaksanakan ritual berdasarkan tradisi budaya bukan atas agama dan kepercayaan.
Ini adalah salah satu Ritual Padi yang disebut ritual Makarenren yang dimana mereka menyajikan berbagai beras dan ayam.
Dan ini di Pasar Bolu ada banyaknya kerbau-kerbau yang di jual di Toraja.
Jadi saya mau membahas sedikit tentang bahasa lagi. Selain masyarakat, agama, dan filosofi, bahasa dianggap sangat penting karena bagi masyarakat Toraja itu adalah sebuah identitas yang tidak dapat diubah-ubah dan selamanya akan melekat dari generasi ke generasi lain. Jadi bahasa dan tingkatannya berdasarkan strata sosialnya, contoh pemakaian kamu, dan lainnya. Contohnya penggunaan kata 'Puang' pada tingkatan bahasa Tongkonan Layuk (kelas bangsawan) yang digunakan untuk menyebutkan golongan atas, dan sampai sekarang kata 'puang' masih diterapkan. Sedangkan prefix /ta/ digunakan untuk merendah di depan /puang/, umumnya digunakan oleh kelas menengah. Berikutnya Balimbing Kalua. Kalau anda mengunjungi Toraja, kita harus membedakan 'Puang' dan 'Ambe'. Bagi kelas menengah, penggunaan kata 'ambe' (laki-laki) dan 'indo' (perempuan) ditujukan kepada orang yang lebih tua. Sama halnya pengunaannya bagi tongkonan kelas bawah.
Setiap daerah di Toraja mengisahkan budaya dan nenek moyang masing-masing. Seperti yang saya katakan tadi, itulah yang membuat Toraja keanekaragaman ritualnya itu unik dan banyak. Namun letak keunikannya ada pada satu yakni acara ritual kematian. Namun selain ritual kematian, Toraja memiliki ritual kehidupan. Budaya Toraja meyakini bahwa terdapat kehidupan setelah kematian (ritual pesung, ritual rambu solo, ritual ma'nene), mereka meyakini bahwa orang yang sudah meninggal perlu untuk amat dihargai dan harus diritualkan, dan setelah meninggal pun mereka tetap akan meritualkan orang meninggal tersebut seperti ritual Ma'nene atau ritual Pesung. Menurut kepercayaan masyarakat Toraja, di atas langit ada surga dan di bawah langit ada kehidupan. Jadi bagi mereka, konsep kehidupan dan kematian itu sangat erat dan hingga saat ini dilestarikan. Mereka juga percata bahwa semakin banyak hewan yang dikorbankan maka orang-orang yang meninggal akan masuk ke surga. Dan ini (pada slide) adalah salah satu contoh Rambu Solo. Kita bisa melihat kerbau-kerbau yang dikorbankan.
Kalau kita berbicara tentang pariwisata Toraja, tentunya adalah keadaan alamnya yang begitu nyata dan original.
Afifah: Anda tadi sudah menjelaskan mengenai hirarki di masyarakat Toraja. Kami juga sudah wawancara Victor dari DSTV Sangalla. Beliau sempat sebutkan tentang memprioritaskan upacara-upacara yang lebih besar dari orang-orang kelas bangsawan. Apa pendapat anda tentang sistem stratifikasi sosial dan masih berlakunya privilese kelas atas atau adat-adat yang berhubungan dengan kelas sosial sekarang? Apakah ada ritual yang sempat dihapus atau diubah karena pergeseran nilai ke yang lebih modern? Seperti apa perbedaan situasi di jaman dahulu dibandingkan saat ini?
Dirk: Di dalam disertasi ini saya telah mengungkit bahwa konsep ritual ini perlu diperjelas. Ada yang mengatakan bahwa ritual adalah agama, ritual adalah mantra, ada yang bahkan mengatakan bahwa ritual adalah semacam permainan politik. Namun konklusi pada disertasi saya, ritual adalah sebuah budaya karena jika kita membandingkan antara ritual di Toraja dengan agama seperti Katolik, Islam, Protestan dan memperhatikan riwayat sejarahnya, ritual itu berubah-berubah dan tidak konsisten. Ya, mereka meyakini eksistensi Puang Matua, dewa-dewa, dan nenek moyangnya, tapi saya melihatnya sebagai budaya atau hanya sebagai ideologi yang berubah-ubah. Contohnya ritual Rambu Solo di tahun 2000an jika dibanding dengan tahun 1980an itu sangat berbeda. Maka dari itu saya mengatakan bahwa ritual itu adalah sebuah ideologi yang dibuat oleh manusia.
Misalkan, bagi agama Katolik mereka memiliki kitab sama halnya dengan Al-Quran bagi agama Islam, ritual ini tidak memiliki catatan-catatan yang jika di garis bawahi dapat disahkan secara legal. Jadi yang saya pelajari dari perjalanan penelitian saya tentang Ritual Padi, sejak tahun 70an, 80an, 90an, hingga menginjak tahun 2000 ritual itu selalu berubah-berubah. Dan seperti apa yang dikatakan para antropolog, budaya berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Jadi perbedaan dahulu dan sekarang itulah sangat berbeda. Jika kita melihat Rambu Solo saat ini, sepertinya mereka hanya melaksanakannya hanya sebagai kompetisi untuk unjuk diri. Karena jika kita ke Toraja kita bisa melihat bahkan dari golongan menengah atau bawah dapat mengorbankan melebihi dua puluh empat kerbau yang seharusnya tidak seperti itu.
Bahasa dianggap sangat penting karena bagi masyarakat Toraja itu adalah sebuah identitas yang tidak dapat diubah-ubah dan selamanya akan melekat dari generasi ke generasi lain. Jadi bahasa dan tingkatannya berdasarkan strata sosialnya
Afifah: Jadi dengan adanya modernisasi, menurut anda, apakah kira-kira konsep tentang kematian akan berubah atau akan masih sama seperti contohnya, bahasa?
Dirk: Kalau menurut saya pribadi, di jaman modern ini, misalkan, orang Toraja yang berdiam di kota seperti Jakarta atau Makassar, kami tetap melakukan Rambu Solo tetapi kami tidak mengikuti kepercayaan yang mengatakan bahwa kami harus mengorbankan dua puluh empat kerbau. Banyak generasi-generasi seperti saya, di umur 30an, ketika orang tuanya meninggal - baik ia dari Jakarta atau Kalimantan - itu sudah tidak mau mengikuti tradisi budaya yang ada. Mungkin sepuluh tahun kedepan, kepercayaan orang tua seperti melaksanakan banyak pengorbanan hewan, sepertinya akan berangsur dengan sendirinya. Itu menurut saya.
Sam: Maaf kalau pertanyaan ini sudah dijawab sebelumnya, tapi boleh tahu bagaimana pandangan anda terhadap sejarah dokumentasi, penelitian, atau pelestarian budaya Toraja? Seperti penelitian antropologis atau etnologis tentang Toraja, film-film yang pernah dibuat atau buku-buku yang pernah ditulis tentang Toraja, siapa yang menulis, dan kenapa mereka ditulis?
Dirk: Jadi jika ingin melihat Toraja dari segi antropologi, kami para peneliti antropolog melihat budaya seperti budaya Toraja akan berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Yang banyak orang tidak pahami dari film-film tentang Toraja, mereka hanya melihat ritual Ma'Nene seperti ini, padahal ritual tersebut di daerah lain berbeda maknanya. Contohnya di Tambunan dan Balik, ritual Ma'nene hanya sekedar mendoakan dan memberikan penyajian seperti babi dan beras. Sedangkan depiksi Ma'nene yang sering di-filmkan itu menyimpulkan bahwa ritual ini mayatnya diambil, dibersihkan, dan ganti bajunya. Budaya Toraja itu sangat beraneka ragam dan kompleks, jadi adanya baiknya jika sineas ingin membuat film tentang Toraja untuk menjelaskan bahwa Toraja itu bukan hanya sekedar satu Aluk tapi juga Aluk lainnya, jadi bukan hanya tentang satu daerah tapi juga daerah lain. Itu yang membuat keanekaragaman Toraja sangat beragam terlebih jika kita mengikuti ritualnya satu per satu. Dari segi film ataupun penelitian, jangan hanya melihat satu Rambu Solo saja karena Rambu Solo mempunyai makna bukan hanya berdasarkan strata sosial tetapi juga aluk-aluk nya.
Tahukah kamu soal ritual Rampanan Kapa'? Rampanan Kapa' adalah upacara pernikahan. Menariknya, Tondon (sebuah daerah di Toraja) memiliki cara merayakan Rampanan Kapa' yang berbeda dengan daerah saya. Kemarin sepupu saya di Tondon, pihak mempelai laki-laki harus mengorbankan seratus babi untuk menikahi mempelai perempuan. Daerah lain biasanya hanya mengorbankan satu babi atau kerbau untuk menganggap pernikahannya legal. Namun, di tempat-tempat lain masih ada yang memegang kepercayaan-kepercayaan yang mereka yakini. Yang menarik di Toraja adalah meski mereka percaya pada Puang Matua atau Tuhan, mereka tetap paling percaya pada nenek moyangnya. Jadi apa yang pernah dikatakan nenek moyang, tetap akan diikuti oleh mereka sehari-hari, meski ada juga yang tidak ingin mengikutinya.
Sam: Ini elemen yang cukup menarik dari konsep dokumentasi. Apa yang kita tahu pernah diutarakan nenek moyang, misalnya, apabila direkam dalam film tentu akan sangat berbeda dibandingkan hanya dengan ditulis atau disampaikan secara lisan. Ini akan mengubah cara pengetahuan disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bentuk pengetahuan berubah karena caranya disampaikan juga berubah.
Dirk: Saat anda sedang membaca artikel atau menonton liputan televisi tentang Toraja, anda hanya melihat satu aspek. Padahal ada budaya di berbagai daerah di Toraja begitu beragam.
Sam: Anda sempat bilang ada perbedaan dalam praktik budaya mereka. Tapi apakah ada perbedaan dalam filosofinya juga?
Dirk: Ini menarik. Di Toraja hanya ada satu Aluk; satu filosofi. Tapi yang menarik dan membingungkan dari Toraja adalah mereka jadikan ajaran dan cara hidup nenek moyangnya sebagai pegangan sehari-hari. Dalam kasus Tondon, saat saya tanyakan, “Kenapa kalian perlu kurbankan seratus kerbau untuk menikah?” Mereka jawab, begitulah kepercayaan yang diajarkan dan dipraktikkan nenek moyang mereka. Saya tanyakan, “Kalau begitu, apa berarti kaliah hanya percaya pada satu Puang Matua atau satu Tuhan?” Yang mereka praktikkan hari ini merupakan hasil dari pandangan nenek moyang mereka.
Sebenarnya dalam budaya Toraja, kita tidak boleh melepaskan agama, atau yang disebut alukta, dengan kepercayaan dalam melaksanakan ritual. Namun yang membedakan saat ini, orang-orang melaksanakan ritual berdasarkan tradisi budaya bukan atas agama dan kepercayaan.
Sam: Lalu bagaimana cara mereka pelajari cara hidup nenek moyang mereka ini?
Dirk: Ini yang membingungkan dari ritual di Toraja. Mereka tidak punya dokumen tertulis. Jadi inilah tugas para antropolog, untuk saya dan mendiang bapak saya. Dalam mempelajari Toraja, kita perlu membaca dokumen untuk ketahui apakah pengetahuan ini berdasarkan fakta atau dari dewa-dewa saja. Karena itu kami, para antropolog, lebih berfokus pada dokumen-dokumen yang ada. Kami ingin lihat kepada siapa mereka percaya dan berdoa. Kalau anda betul-betul ingin tahu tentang Toraja, anda juga perlu baca dokumennya.
Sam: Anda sempat berdiskusi dengan seseorang yang akan menikah dan dia sebutkan bahwa dia rayakan pernikahannya sebagaimana nenek moyangnya merayakan pernikahan mereka. Apakah mereka membaca tata cara perayaan ini di buku? Ataukah mereka diajarkan secara lisan? Atau mereka pernah melihat cara perayaan ini di video?
Dirk: Saya pernah bahas dan jabarkan ini di disertasi saya. Saya bertanya, “Ritual yang dipraktikkan di Toraja hari ini, apakah mereka berdasarkan dokumen lisan atau tertulis?” Saya kira praktik yang mereka lakukan zaman sekarang disebarkan secara lisan--dari mulut ke mulut. Saya rasa akan menarik apabila seseorang bisa buat teks tertulis tentang ritual Rambu Solo, pemakaman di Toraja. Pembicaraan tentang budaya di Toraja sangat kompleks karena semua pihak memiliki persepsi yang berbeda. Saya ingin tanyakan tentang buku yang mencatat bahwa hal ini dan itu perlu dilakukan, tapi mereka bilang ini semua hanya berdasarkan ajaran dan kepercayaan. Saya kira kita perlu buat dokumentasi tertulis tentang budaya Toraja, supaya tidak begitu membingungkan.
Bapak saya sangat fokus pada dokumen. Beliau ingin tahu ada berapa dewa-dewi, ada berapa Puang Matua di budaya Toraja. Tapi beliau pernah katakan hanya ada satu Puang Matua dan satu Tuhan, sementara perbedaan hanya datang dari nenek moyang masing-masing daerah yang berbeda.
Afifah: Menurut anda, bagaimana seorang antropolog menentukan kultur atau budaya yang definitif untuk disertakan dalam teks. Berhubung ada berbagai pengungkapan verbal dan keunikan yang beraneka ragam di tiap daerah di Toraja.
Dirk: Ya, jalan satu-satunya dalam meneliti budaya Toraja kita perlu menyebut daerahnya. Bahwa konteks di daerah tersebut adalah seperti ini. Ketika biasanya ketika kita membaca artikel atau disertasi mengenai budaya Toraja, muncul di benak bahwa mengapa menurut penulis Toraja digambarkan seperti ini? Jadi sebaiknya kita mengungkit daerah mana yang dibicarakan, ada baiknya ini diterapkan dalam film dan artikel. Karena di Toraja itu sensitif ketika kita mengatakan bahwa, "oh budaya di saya mengatakan ini." namun yang lain beranggapan berbeda. Jadi ketika kedua anda ingin menulis jangan menulis Toraja secara umum namun harus tetap mengungkit daerah mana.
Afifah: Betul. Jadi memang riset (awalnya, pada waktu itu) tidak mau secara konstruktif - berdasarkan pemahaman saya maupun Sam. Kita melakukan wawancara-wawancara ini karena kami mau me-interpretasikan apa yang dikatakan Kak Dirk dan Om Victor dari DSTV Sangalla.
Afifah: Topik utama dari apa yang kita ingin angkat ini adalah digitalisasi kultur. Menurut Kak Dirk, jika kita bandingkan cara mengawetkan jenazah di seperti di ritual Rambu Solo contohnya, dengan bagaimana kita mempreservasi sebuah ritual melalui dokumentasi video apakah ada kaitan spiritual atau filosofikal yang menyamakan hal dua tersebut? Jadi mendokumentasikan ritualnya lalu melakukan ritualnya sendiri.
Dirk: Kalau saya melihat dokumentasi saat ini tidak spesifik mendeskripsikan apa itu budaya Toraja. Saya meneliti Ritual Padi di dua daerah; Tambunan dan Balik. Waktu tanyakan apa makna Ritual Padi untuk mereka, saya mendapat jawaban yang sangat berbeda. Bahkan cara mereka berdoa begitu berbeda. Contohnya, ketika dibandingkan, Balik jauh lebih modern dari Tambunan, yang lebih tradisional. Ketika saya tanyakan kepada To’mina tentang perbedaan Aluk antara Tambuan dan Balik, mereka ternyata punya perspektif yang berlawanan tentang Ritual Padi. Karena itu, waktu saya laporkan termuan saya di disertasi, saya harus perjelas saya sedang bicarakan tentang Tambunan atau Balik. Saya tidak bisa generalisir keduanya dengan menggunakan frasa ‘Ritual Padi di Toraja’ karena mereka punya tata cara, kepercayaan, dan ajaran yang begitu berbeda. Yang sama dari mereka hanyalah kepercayaan pada Puang Matua dan Dewa-dewi, yang lainnya kebanyakan berbeda. Ketika saya tanyakan mana yang benar dan mana yang salah, mereka tersinggung. Karena itu, saya berhenti membanding-bandingkan dan lakukan penelitian saya tentang kedua daerah dan secara spesifik menjelaskan temuan saya di masing-masing daerah saja.
Budaya Toraja itu sangat beraneka ragam dan kompleks, jadi adanya baiknya jika sineas ingin membuat film tentang Toraja untuk menjelaskan bahwa Toraja itu bukan hanya sekedar satu Aluk tapi juga Aluk lainnya, jadi bukan hanya tentang satu daerah tapi juga daerah lain.
Sam: DSTV memiliki banyak rekaman dan kami sedang mencari tahu nilai apa yang mereka miliki sebagai arsip. Dari arsip, kita tahu bahwa yang paling penting di sini adalah isu komunikasi, sirkulasi, dan akses. Kurangnya informasi yang diasosiasikan dengan gambar tertentu untuk menjelaskan isinya adalah hambatan besar dalam upaya pelestarian. Akses ke material pada saat ini sangat mudah, karena kebanyakan tersedia di YouTube. Tapi, aspek komunikasinya mungkin masih bisa dimaksimalkan, karena belum tersedia informasi yang cukup mengenai isinya.
Dirk: Saya rasa karena itulah saat orang lihat film dokumenter atau cuplikan di YouTube, mereka bilang, “Oh, kalau mau menikah dengan orang Toraja, kamu harus kurbankan banyak kerbau..” padahal tidak selalu seperti itu. Sebagian dari mereka tidak lagi melakukan ritual ini.
Sam: Kita tidak bisa mengeneralisir, harus cari tahu secara spesifik. Betul begitu?
Dirk: Ketika orang menulis tentang ritual Ma'Nene, mereka hanya menulis berdasarkan ritual di satu tempat. Di daerah saya di Tambunan, ritualnya berbeda.
Sam: Kami sempat hadiri tiga ritual Ma'Nene dan ketiganya begitu berbeda.
Dirk: Kata Ma’Nene punya satu arti yang sama; merayakan nenek moyang. Artinya hanya satu, tapi praktiknya banyak dan berbeda satu sama lainnya.
Afifah: Saya tahu anda paham baik dan pernah bergerak di bidang pariwisata. Anda, bapak, serta keluarga anda ingin memasukkan Toraja ke daftar Warisan Budaya UNESCO. Saya ingin bertanya soal pandangan masyarakat dan pemimpin lokal tentang pariwisata. Saya dengar sempat ada ketegangan di antara pemerintah dan pemimpin lokal di Toraja tentang ‘zonasi pariwisata’. Apa pandangan Toraja terhadap pariwisata sekarang? Apakah kehadiran wisatawan pada ritual dan acara pemakaman berdampak pada kesakralan upacara?
Dirk: Empat tahun lalu sempat ada seminar tentang filosofi Toraja. Mereka mengundang entrepreneur, bupati, pemimpin Toraja, To’mina dan seorang dosen dari Makassar untuk diskusikan soal membangun Toraja sebagai destinasi wisata. Tato Dena’, seorang To’mina [pemimpin spiritual Toraja dan To’mina terkenal] sempat ditanyakan soal bagaimana beliau melihat Toraja dalam lima atau sepuluh tahun kedepan. Menurut Tato Dena’, cara mereka tampilkan Toraja sekarang sudah tidak lagi berdasarkan budaya asli. Arti dari budayanya sudah menghilang--sudah hampir punah--bahkan ritualnya pun sudah tidak lagi berdasarkan budaya asli. Kalau ingin sesuai dengan budaya asli, seharusnya mereka libatkan To’mina. Pertama-tama, budaya toraja itu tidak bisa diadakan tanpa pemangku adat.
Saya rasa dari perspektif pariwisata, Toraja punya tempat-tempat baru seperti Buntu Burake--tujuan wisata baru. Lucunya, saat wisatawan ingin tahu tempat wisata terbaik di Toraja 2017 lalu, kami akan usulkan Burake dan daerah pariwisata lainnya. Tapi mereka tidak mau pergi ke sana. Mereka lebih memilih pergi ke tempat-tempat tradisional dan saksikan Rambu Solo dan ritual-ritual lainnya. Ini budaya untuk mereka.
Ada banyak sekali hal yang pemerintah ingin ubah dari budaya Toraja. Tapi, menurut Tato Dena’, budaya tidak seharusnya (diperbaharui dan dibuat-buat). Contohnya, tari Pagellu yang seharusnya ditampilkan saat upacara pemakaman. Arti dari tarian ini sudah terlalu sering diubah. Begitu juga dengan Palambuk (tumbuk padi), seharusnya dilaksanakan saat padi sudah diambil, namun Malambuk (menumbuk padi) itu sekarang digunakan ketika ada kedatangan orang luar. Tomina-tomina ingin agar upacara itu diadakan sesuai dengan waktu dan tempat yang di tetapkan dari zaman dahulu. Jadi banyak kontradiksi yang dibicarakan oleh yang memihak pada modernisasi dan orang-orang To’mina.
Sam: Jadi ada konflik antara bagaimana budaya ditampilkan dengan makna dari budaya itu sendiri ya?
Dirk: Pada 2016, Pemerintah ingin memodernisasi arti dari budaya Toraja dengan menumen dan destinasi wisata yang baru. Membuat daerah-daerah seperti Kota Tua di Jakarta. Tapi To’mina tidak setuju. Menurut mereka, budaya mereka seharusnya dipraktikkan berdasarkan kepercayaan mereka. Mereka tidak ingin memodernisasi budaya yang ada. Jadi memang ada pandangan yang bertentangan soal masa depan budaya Toraja.
Saya rasa alasan Toraja masih belum masuk ke daftar Warisan Budaya UNESCO bukan hanya karena perbedaan antara Toraja Utara dan Toraja Selatan, tapi juga pandangan-pandangan beragam ini. Para To’mina pernah diminta untuk lakukan ritual Rambu Solo untuk pejabat yang berkunjung, tapi mereka menolak. Mereka menolak untuk lakukan ritual saat tidak ada alasan yang tepat dan hanya sebagai atraksi untuk penonton. Kalau anda pergi ke Toraja dan tinggal lama di sana, anda bisa tahu pandangan-pandangan mereka tentang upaya modernisasi Toraja. Kalau anda pergi ke Balik sekarang, tempatnya sudah semakin modern. Beda dengan Tambunan, yang masih sangat tradisional. Mereka menolak tawaran modernisasi dari pemerintah dan membenci modernisasi.